TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha keramik yakin penurunan harga gas berpotensi menggenjot utilitas pabrikan ke level 90-95 persen. Asosiasi Aneka Keramik atau Asaki bahkan meramalkan sebagian pabrikan yang kini sudah menghentikan proses produksi akan kembali berfungsi.
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan saat ini telah ada sembilan pabrikan atau industri keramik yang menghentikan proses produksi. Sebagian pabrik ini telah menjual peralatan produksi, tetapi masih mempertahankan bangunan pabrik.
"(Sementara itu) sebagian bisa berproduksi kembali karena mesin produksi dan sarana produksi lain masih terpasang," ujar Edy, Jumat, 28 Februari 2020. "(Sembilan pabrikan tersebut) sangat mungkin beroperasi kembali, tapi membutuhkan waktu lebih lama untuk recovery."
Edy menjelaskan, berhentinya produksi sembilan pabrikan tersebut membuat kapasitas terpasang pabrikan keramik nasional turun sekitar 6,89-8,62 persen. Dengan turunnya harga gas, Edy menghitung volume produksi tetap akan naik ke level 80-82 persen atau memproduksi sekitar 400 juta-410 juta meter persegi (sqm).
Angka tersebut melonjak dari proyeksi sebelumnya yakni sebanyak 375 juta sqm dengan utilitas dilevel 70 persen. Adapun, Edy mencatat volume produksi seluruh pabrikan tahun lalu hanya mencapai sekitar 350 juta sqm.
Tak hanya itu, Edy menyebutkan penurunan harga gas pada akhir kuartal I tahun 2020 dapat membuat perfoma produksi industri keramik sama seperti pada 2012-2013 dengan utilitas pabrikan di level 90-95 persen. Pemerintah diyakini akan menepati janjinya dengan menurunkan harga gas ke level US$ 6 per MMBtu.
Selama ini penurunan harga gas memiliki urgensi tinggi lantaran pasar domestik saat ini dibanjiri keramik impor. Penurunan harga gas juga dapat mendongkrak daya saing keramik lokal di pasar nasional dan meredam dampak banjir keramik impor.
Di tahun pertama pengenaan tambahan bea masuk, kata Edy, hanya mampu menekan volume impor keramik sebesar 9 persen secara tahunan. Ia khawatir dengan angka tersebut lantaran tambahan bea masuk akan turun ke level 19 persen pada awal kuartal IV Tahun 2020.
Selain besaran bea tambahan yang rendah, Edy menyatakan produsen keramik dari lainnya mengisi kekosongan pangsa keramik Cina di dalam negeri. Volume keramik dari India naik lebih dari 12 kali lipat menjadi 16 juta meter persegi (sqm).
Selain itu, keramik dari Vietnam di dalam negeri naik 25 persen. Walhasil, neraca perdagangan keramik jauh berada di zona merah. Nilai impor keramik pada tahun lalu mencapai US$ 272 juta, sedangkan performa ekspor keramik hanya US$ 52 juta.
BISNIS