3. Akademisi
Sejumlah akademisi pun turut menolak Omnibus Law ini. Salah satunya ekonom senior Faisal Basri. Faisal menolaknya karena landasan awal pembentukan RUU Omnibus Law ini, yaitu percepatan investasi, dianggapnya keliru.
“Jauh panggang dari api,” kata Faisal dalam konferensi pers di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta Selatan, Kamis, 27 Februari 2020. Menurut Faisal, masalah utama investasi di Indonesia adalah korupsi dan inefisiensi birokrasi. Tapi solusi yang dihadirkan justru Omnibus Law.
4.Lembaga advokasi hukum
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, menilai Omnibus Law ini mengancam demokrasi karena aspek dalam pembentukan UU yang dilanggar oleh pemerintah. “Persis seperti UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” kata Isnur di Jakarta,Kamis, 27 Februari 2020.
Isnur menegaskan bahwa RUU Cipta Kerja ini merupakan bentuk penyelundupan hukum. Sebab, draf RUU Cipta Kerja telah ada sejak November 2019. Padahal sampai Januari 2020, naskah akademik untuk RUU ini masih direvisi dan belum rampung. “Jadi naskah akademik ini dibuat-buat untuk memenuhi kebutuhan draf,” kata dia.
Penolakan akan Omnibus Law ini terus berdatangan. Tapi sejak 20 Februari 2020, Jokowi memastikan pemerintah dan DPR terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak terkait RUU Cipta Kerja. Sepanjang belum disahkan menjadi UU, masyarakat dalam menyampaikan kritik dan saran atas RUU ini. “Tapi, saya minta agar draf aturan tersebut dipelajari terlebih dahulu dengan seksama,” kata Jokowi lewat akun twitternya @jokowi.