TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Undang-Undang atau RUU Omnibus Law Kerja ala Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai mengancam demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil. Sebab, banyak aspek dalam pembentukan UU yang dilanggar oleh pemerintah.
“Persis seperti UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, dalam konferensi pers di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Februari 2020.
Sejak 12 Februari 2020, pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja ini ke DPR. Meski demikian, sampai Selasa, 25 Februari 2020, pimpinan DPR belum membahas RUU yang diusulkan pemerintah ini. Bersamaan dengan proses di DPR ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil, pers, hingga serikat buruh terus menolak RUU tersebut.
Isnur menegaskan bahwa RUU Cipta Kerja ini merupakan bentuk penyelundupan hukum. Sebab, draf RUU Cipta Kerja telah ada sejak November 2019. Padahal sampai Januari 2020, naskah akademik untuk RUU ini masih direvisi dan belum rampung. “Jadi naskah akademik ini dibuat-buat untuk memenuhi kebutuhan draf,” kata dia.
Ia kemudian mencontohkan kasus pada UU KPK yang saat ini tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam persidangan, kata dia, terungkap fakta bahwa UU kontroversi yang disahkan DPR tahun 2019 itu, menggunakan naskah akademik tahun 2011. Selain itu, keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) juga tidak ada naskah akademiknya.
Sehingga jika RUU Cipta Kerja ini lolos menjadi UU, seperti UU KPK, maka akan terjadi preseden buruk ke depannya. Sebab, siapapun yang berkuasa di kemudian hari, bisa membentuk UU sesuka hatinya. “Yang paling berbahaya itu, fundamental negara ini yaitu republik, itu akan runtuh,” kata dia.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri juga terang-terangan menolak RUU Cipta Kerja, yang ditujukan untuk menggenjot investasi ini. Bagi dia, masalah utama daya saing bangsa ini adalah korupsi dan inefisiensi birokrasi, bukan seretnya investasi.
Dalam kesempatan ini, Faisal Basri pun berpesan kepada serikat buruh yang tengah melancarkan protes, agar tidak egois. Sebab, RUU Cipta Kerja ini tidak hanya menyangkut nasib buruh, tapi juga nasib masyarakat sipil yang akan dilemahkan. “Taruhannya adalah satu, liberty (kebebasan),” kata dia.
Protes boleh berdatangan, tapi pejabat pemerintah berulang kali memastikan RUU Cipta Kerja ini disusun untuk kepentingan rakyat. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan misalnya, meyakinkan bahwa tidak mungkin pemerintah ingin membuat rakyat sengsara.
"Tidak mungkin kita membuat peraturan undang-undang yang akan menyakiti rakyat kita apakah pengusaha kecil, menengah, dan besar. Itu dijamin pasti tidak. Apalagi dengan tipe pak Jokowi, yang orang turun ke lapangan, yang asalnya juga dari rakyat kecil," ujar Luhut, akhir Januari 2020 lalu.