TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan mempercepat penyusunan payung hukum stimulus penerbangan yang dicanangkan pemerintah untuk menambal kerugian akibat infeksi global virus 2019-nCoV atau Corona. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto mengatakan insentif tersebut selambat-lambatnya mulai berlaku awal bulan depan.
"Eksekusinya perlu produk hukum karena pakai anggaran negara, kami kejar semaksimal mungkin sampai akhir bulan ini," ucapnya kepada Tempo, Rabu 26 Februari 2020.
Untuk menggenjot kinerja penerbangan selama tiga bulan, kata Novie, pemerintah mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp 500-550 miliar sebagai subsidi tiket pesawat ke 10 destinasi wisata domestik yang dianggap paling merugi karena penyebaran Corona.
Potongan harga pun didukung alokasi diskon avtur sebesar Rp 265,5 miliar dari PT Pertamina (persero), serta akumulasi keringanan biaya jasa hingga Rp 100 miliar dari para pengelola bandara dan Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau Airnav.
Gabungan insentif penerbangan itu hanya menyasar 25 persen jumlah kursi di setiap penerbangan. Bila dikonversi merata, harga tiket segmen penerbangan murah akan mendapat diskon 50 persen, sementara segmen medium dan full service potongannya berkisar 45-48 persen.
"Airnav langsung diatur kementerian, tapi kalau penerapan dari Angkasa Pura nanti dibahas lagi," ujar Novie.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan periode penerapan masih bisa diperpanjang. Saat ini stimulus itu hanya terencana hingga Mei 2020. "Kalau situasi belum pulih, kami pertimbangkan untuk diperpanjang," tuturnya, kemarin.
Meski ada kebijakan diskon dari pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan operator penerbangan harus melanjutkan program diskon yang sebelumnya diterapkan secara independen. Sehingga, stimulus pemerintah akan bersifat on-top atau menambah plafon yang sudah ada. "Diskon bisa mencapai 50 persen," katanya.
Pembekuan jalur penerbangan dari dan menuju Cina sejak awal Februari 2020 menghantam bisnis perjalanan wisata yang mayoritasnya dilayani dengan pesawat. Frekuensi penerbangan seketika anjlok hingga rata-rata 30 persen.
Ada pula potensi kerugian devisa dari akumulasi total kunjungan wisatawan asing, termasuk Cina, yang menembus US$ 4 miliar atau Rp 54,8 triliun (dalam kurs Rp 13.722 per dolar AS). Menteri Sri bahkan menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia meleset dari target 5,3 persen, menjadi sekitar 4,7 - 5 persen.
CAESAR AKBAR | FRANSISCA CHRISTY ROSANA | LARISSA HUDA