TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah Kementerian ATR/BPN Raden Bagus Agus Widjayanto mengungkapkan banyak modus operandi mafia tanah yang berhasil ia temukan di lapangan.
"Sengketa tanah itu tidak hanya perdata saja, tapi juga kerap berakhir pidana," kata dia di kantornya di Jakarta, Selasa, 25 Februari 2020.
Agus mengungkapkan, modus mafia tanah yang terindikasi pidana adalah seperti pemalsuan hak atas tanah. "Kenapa banyak pemalsuan, karena memang sistem hukum kita seperti ini, karena kita punya banyak bukti atas hak seperti girik, ada SK ganti rugi bekas ajendam, itu bisa dijadikan dasar untuk mengklaim tanah, kemudian surat keterangan tanah juga bisa digunakan," ucapnya.
Ia mengatakan, sistem administrasi penerbitan girik juga sudah tak tertib dari tingkat Kelurahan. Bahkan, dalam Pajak Bumi dan Bangunan pun tak menyertakan riwayat kepemilikan dari sebuah lahan. "Jadi ini yang digunakan sebagai kesempatan orang-orang tertentu untuk memproduce girik-girik yang tidak ada. Jadi kita bilang surat mencari tanah," Agus menerangkan.
Ketika sebuah girik mengatasnamakan sebuah lahan kosong, tapi ternyata sudah bersertifikat, kata Agus maka si mafia tanah akan mengajukan gugatan kepemilikan lahan di pengadilan. Kemudian ia juga pernah menemukan oknum yang memperjualbelikan blanko girik kosong. Walhasil, mafia tanah tinggal mengisi identitas tanah yang dituju dalam surat girik tersebut.