Senior Vice President Research PT Kanaka Hita Solvera, Janson Nasrial berujar tingkat utang BUMN karya sangat tinggi jika dibandingkan dengan BUMN di sektor lainnya. Hal itu ditunjukkan oleh rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) maupun rasio utang terhadap EBITDA (debt to EBITDA ratio). “Operating cashflow selalu negatif setiap tahun karena memang model bisnisnya mereka harus mengeluarkan belanja modal (capital expenditure) untuk memulai konstruksi, sementara dibayarnya tahun depan atau menunggu anggaran dari pemerintah turun,” kata Janson.
Janson mengungkapkan terdapat sejumlah cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi tekanan arus kas perseroan, yaitu melakukan divestasi aset, hingga melakukan skema joint venture dengan swasta lokal maupun asing untuk proyek-proyek yang bersifat strategis. “Kalau dibandingkan emiten yang masih menjadi favorit saat ini WIKA dan PTPP, ini berdasarkan balance sheet serta kemampuan mereka mencari proyek baru,” kata dia.
Analis PT OSO Securities, Sukarno Alatas menambahkan meski memiliki banyak catatan terkait beban utang tinggi, saham emiten BUMN konstruksi secara umum tetap menarik untuk dikoleksi. “Sekarang sudah bisa dilakukan trading buy, investor bisa menggunakan momentum teknikal untuk kembali masuk di emiten ini,” ucapnya. “Terlebih ada sentimen positif lainnya untuk masalah utang ini, yaitu tren penurunan suku bunga.”