TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi dicoretnya Indonesia sebagai negara berkembang dan digolongkan dalam daftar negara maju oleh Amerika Serikat. Airlangga mengatakan semestinya Indonesia berbangga.
"Justru kita berbangga. Kita kan negara anggota G20 yang sekarang purchasing power di nomor tujuh," tutur Airlangga di kantor Badan Pengajian dan Penerapan Teknlogi atau BPPT, Senin, 24 Februari 2020.
Menilik posisinya saat ini, Airlangga menyatakan seharusnya Indonesia memang tidak melulu jalan di tempat dan digolongkan sebagai negara kelompok kedua. Ihwal efek ekonomi yang dihasilkan dari keputusan tersebut, Airlangga menyatakan pemerintah tidak khawatir.
"Tidak masalah. tidak khawatir. Kok mau jadi negara tidak maju?" ucapnya.
Pada akhir pekan lalu, Amerika Serikat melalui Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Dengan begitu, Indonesia terdaftar sebagai negara maju.
Adapun keputusan ini dikhawatirkan akan meningkatkan bea ekspor. Sebab, selama ini Indonesia merupakan negara penerima fasilitas Generalized System of Preferences atau GSP dari Amerika Serikat dengan benefit kebijakan pemberlakuan bea ekspor yang tergolong rendah.
Airlangga mengatakan, terkait bea ekspor itu, pemerintah telah memproses perjanjian dagang dengan Negeri Abang Sam. Persoalan tersebut, menurut Ketua Umum Partai Golkar itu, bisa diselesaikan secara bilateral.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan Indonesia mungkin akan dikeluarkan dari negara penerima GSP setelah pengumuman USTR. Sebab, GSP hanya akan diberikan kepada negara berkembang dan miski.
"Kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi, kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk," kata Bhima pada Sabtu, 22 Februari 2020.
Bhima memperkirakan ekspor ke pasar AS terancam menurun khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. Ujungnya, kata dia, hal ini akan memperlebar defisit neraca dagang setelah sebelumnya pada Januari 2020 defisit mencapai US$ 864 juta.
Dia mencatat dari Januari hingga November 2019 ada US$ 2,5 miliar nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP. Jika tidak masuk GSP, harga akan lebih mahal karena bea masuknya dikenakan normal.
"Daya saing di pasar internasional akan turun. Konsumen di AS akan beralih ke produk dari negara penerima GSP," kata dia.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | HENDARTYO HANGGI