TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal mengatakan pasokan gula perseroan yang ada saat ini ternyata belum mampu menstabilkan harga gula masih terus meroket. Meski tak menyebutkan angka pastinya, Awaludin mengatakan stok saat ini tidak memadai untuk dijadikan instrumen mengontrol harga gula di pasar.
"Apalagi untuk stabilisasi Ramadan dan Lebaran, itu tetap harus dengan penugasan (impor) dan jumlah yang relatif besar," ujar Awaludin kepada Tempo, Kamis 20 Februari 2020.
Awaludin mengatakan, saat ini Bulog tengah meminta penugasan impor sebanyak 200 ribu ton. Permohonan tersebut telah disampaikan dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) bersama Kementerian Koordinator Perekonomian pada Senin lalu. "Sampai saat ini belum ada penugasan itu. Kami masih menunggu keputusan," kata dia.
Masa giling oleh pabrik gula, kata Awaludin, biasanya berlangsung selama Mei hingga Oktober. Sementara, Ramadan jatuh pada April hingga Mei. Pada periode tersebut, pasokan gula relatif kurang. "Kami tidak bisa berikan langkah (stabilisasi harga) itu memang karena tidak punya stok cukup," ujar dia.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi mengatakan, impor gula sudah harus dilakukan karena saat ini harga komoditas tersebut telah mencapai Rp 14.500 per kilogram, sedangkan harga eceran tertinggi yang ditentukan Rp 12.500 per kilogram. Impor gula itu nantinya akan digunakan untuk mengintervensi harga saat waktu menjelang Lebaran. "Yang jadi persoalan menjelang lebaran itu April-Mei. Jadi harus masuk, harus segera diputuskan," ujar dia.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan pemerintah akan mengkaji usul Perum Bulog untuk mengimpor gula konsumsi sebanyak 200 ribu ton. Agus mengatakan, dalam waktu dekat akan digelar rakortas membahas stok gula menjelang Ramadan dan Lebaran.
"Jadi nanti setiap impor, kami tunggu untuk rekomendasi dari perindustrian. Jadi kami koordinasilah, supaya terkendali juga masalah stok ini nantinya," ujar Agus.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto menduga kenaikan harga gula karena spekulan yang memanfaatkan pembatasan impor beberapa produk akibat penyebaran virus corona. Aturan itu merujuk pada Permendag Nomor 10 Tahun 2020 tentang Larangan Impor Sementara Binatang Hidup dari Cina. Padahal, kata dia, pembatasan impor hanya untuk binatang hidup atau binatang hidup yang telah transit di Cina.
Suhanto mengatakan Kementerian berupaya menurunkan harga gula, salah satunya berkoordinasi dengan pelaku usaha dan pemerintah daerah untuk segera mengeluarkan stok gula agar dapat mengisi pasar konsumsi. Adapun upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah menambah pasokan gula dari luar negeri, sebagaimana disepakati dalam Rakortas 17 September 2019.
"Saat ini telah dikeluarkan ijin impor raw sugar yang diolah menjadi gula konsumsi yang mana sebagian sudah mulai masuk ke pasar," kata Suhanto.
Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Khudori mengatakan pemerintah mesti berhati-hati dalam membuka keran impor gula konsumsi. Jangan sampai, kata dia, kebijakan impor gula justru memberikan disinsentif bagi petani lokal. Ia berharap kejadian pada 2018 tak terulang yang mana harga gula melonjak tajam, lalu diguyur gula impor dengan jumlah sangat besar.
"Saat itu, hitungan kebutuhan impor gula tidak jelas. Padahal saat itu stok masih banyak. Akhirnya, petani tebu beberapa kali demonstrasi," kata Khudori.
DEWI NURITA | EKO WAHYUDI | LARISSA HUDA