TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR-RI Mukhamad Misbakhun meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati lebih kreatif dalam menggenjot potensi penerimaan negara. Menurutnya, salah satu potensi yang bisa dimaksimalkan untuk mendongkrak penerimaan negara adalah dari perluasan objek kena cukai.
“Menurut saya (upaya pemerintah) harus terus didukung karena kita menghadapi situasi-situasi yang mau tidak mau harus dikuatkan kreativitasnya,” kata Misbakhun melalui keterangan tertulis, Rabu 19 Februari 2020.
Namun, anggota parlemen fraksi Partai Golkar itu, setiap kebijakan tentu memiliki risiko. Oleh karena itu, menurut Misbakhun, pemerintah harus mengantisipasi dan meminimalkan risiko yang berpotensi menimbulkan ekses negatif.
Misbakhun mengkritik usul pemerintah tentang penerapan cukai untuk kantong plastik atau tas keresek. Semestinya, pemerintah dengan alasan keadilan dan keberlanjutan lingkungan berani memberlakukan cukai pada barang-barang plastik lain, bukan hanya kantong plastik.
“Berapa miliar yang kita dapat dari cukai kantong plastik? Cuma Rp 900 miliar sampai Rp 1,5 triliun dengan risiko (lingkungan) yang sama. Makanya karena risikonya sama usulkan saja memasukkan sepuluh objek sama saja,” katanya.
Kemudian Ia juga menyoroti usul pemerintah tentang pemberlakuan cukai emisi karbon (CO2) pada kendaraan bermotor. Misbhakun menegaskan, kendaraan bermotor bukanlah satu-satunya sumber penghasil gas tersebut.
Tetapi, ada sektor industri ataupun manufaktur yang juga menghasilkan emisi. Sebab, sumber utama emisi karbon adalah bahan bakar.
Oleh karena itu, menurut Misbhakun seharusnya bahan bakar juga dikenai cukai. “Kenapa kemudian tidak sumber emisinya yang dikenakan fuel surcharge? Hampir di seluruh dunia fuel surcharge itu bagus,” ucapnya.
Dia meyakini fuel surcharge untuk emisi karbon bisa mengalahkan penerimaan dari cukai etil alkohol ataupun minuman keras. “Negara kan perlu melakukan upaya lebih kreatif,” tuturnya.
Yang paling penting, kata Misbakhun, pemerintah bisa memberikan penjelasan dan alasan secara rasional yang mendasari penerapan suatu kebijakan yang telah diputuskan.
“Keputusan politik itu sering tidak logis, tetapi harus rasional. Dengan rasionalisasi itu kita bisa menjelaskan kepada publik yang tidak logis bisa masuk akal,” ungkapnya.