TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto menuturkan perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia Australia (IA-CEPA) mengeliminasi 6.474 pos tarif menjadi nol persen, termasuk untuk kendaraan jenis hybrid dan elektrik yang dirakit di Indonesia. Terlepas dari nilai kandungan lokal dan asal bahan bakunya, Harjanto menuturkan mobil listrik berhak mendapatkan skema tarif preferensi nol persen.
Meski dijanjikan fasilitas tersebut, Harjanto menuturkan industri dalam belum bisa menikmati fasilitas yang ditawarkan Australia. "Industri otomotif Indonesia belum memproduksi atau merakit kendaraan jenis hybrid dan elektrik sehingga pada saat ini skema tarif preferensi nol persen belum dapat dimanfaatkan," ujar Harjanto kepada Tempo, Rabu 19 November 2020.
Meski ada potensi pasar baru, Harjanto mengatakan ekspor otomotif ke Australia masih menghadapi sejumlah tantangan lainnya, seperti penerapan standar nasional untuk produk otomotif yang akan dipasarkan di sana. Standar tersebut dikenal dengan Australia Design Rules (ADR) yang mengatur persyaratan yang cukup ketat untuk persyaratan keselamatan (safety), keamanan (anti-theft), dan emisi.
Pihak Original Equipment Manufacturer (OEM) Indonesia dituntut harus mengembangkan spesifikasi produk khusus agar bisa diterima di pasar Australia. Hal ini, kata dia, menjadikan produk yang akan diekspor menjadi tidak ekonomis. "Secara umum produk ekspor Indonesia umumnya menggunakan spefisikasi yang hampir sama dengan pasar dalam negeri, sehingga skala keekonomisannya tercapai," ujar Harjanto.
Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan Australia menawarkan kemudahan product specific rules (PSR) untuk mobil listrik dan hybrid Indonesia dalam mendapatkan tarif preferensi nol persen. Hal tersebut kata dia, merupakan konsesi terbaik yang Australia berikan kepada mitra daganganya.
"Artinya, ini peluang luar biasa dalam membangun industri oromotif termasuk hybrid dan electric yang berdaya saing," ujar Ayu Marthini.
Pada pertemuan bidang otomotif antara Kemendag bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Australia dan Indonesian Trade Promotion Center Sydney Oktober lalu, Ayu Marthini mengatakan para pelaku usaha mengungkapkan ketertarikannya untuk mengekspor ke Australia. Pertemuan itu dihadiri Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), dan Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
"Investor Australia juga melihat peluang ini dan bukan tidak mungkin mereka melakukan kemitraan bersama pelaku usaha dengan adanya IA-CEPA misalnya untuk mobil hybrid dan listrik," kata dia.
Selain itu, Ayu Marthini mengatakan Indonesia memiliki cadangan nikel sebagai bahan baku baterai mobil listrik. Dengan begitu, ia berharap biaya produksi mobil listrik dapat lebih kompetitif.
Direktur Administrasi, Korporasi dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengatakan belum memiliki gambaran soal pasar ekspor mobil listrik ke Australia. "Saya belum tahu karena di Indonesia kami juga ragu pasarnya seperti apa," tutur Bob kepada Tempo.
Untuk pasar otomotif Australia konvensional saja, Bob mengatakan Australia memiliki karakateristik yang berbeda dengan negara lain, seperti pasar Asia, Amerika Latin, atau pun Afrika. Menurut dia, standar New Car Assessment Program (NCAP) di Australia relatif tinggi, sehingga rencana perluasan pasar harus dilihat dengan jangka panjang.
"Yang paling efisien kalau standar domestik kita sama dengan Australia supaya economic scale-nya dapat. Tetapi sepertinya untuk saat ini tidak mungkin," ujar Bob.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Minyak dan Gas Bobby Gafur Umar mengatakan Indonesia sebagai produsen mobil listrik untuk domestik saja tahapannya masih panjang. "Yang paling cepat start-nya adalah Indonesia menggandeng produsen mobil listrik yang sudah advance (maju), lalu haru ada alih teknologi," kata Bobby.
Menurut Bobby, dalam lima tahun ke depan Indonesia belum bisa untuk produksi mobil listrik sendiri. Meski begitu, Bobby mengatakan Indonesia punya bahan baku untuk baterai, yang mana komponennya paling besar yaitu sekitar 40 persen. Di sisi lain, teknologi baterai juga terus berkembang pesat sehingga belum tentu terkejar oleh industri dalam negeri.
"Indonesia punya bahan baku, sehingga yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan nikel untuk produsen baterai untuk produksi di Indonesia untuk diekspor," ujar Bobby.
LARISSA HUDA