TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Semen Indonesia (Persero) Tbk Hendi Priyo Santoso mengatakan kelesuan pasar semen diperparah dengan adanya perlambatan pasar global, salah satunya karena mewabahnya Virus Corona belakangan ini.
"Tantangan yang kami hadapi adalah perlambatan ekonomi sevara global yang dipicu oleh resesi dunia akibat perang dagang Amerika Serikat dengan Cina dan Amerika Serikat dengan Eropa. Pada saat ini juga adanya epidemi virus di Cina membuat pasar semen di dalam dan luar negeri semakin melemah," ujar Hendi dalam rapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 18 Februari 2020.
Belakangan, Hendi mengatakan pasar ekspor memang cukup berat dengan adanya kelebihan kapasitas di dalam negeri maupun di regional. Ia mengatakan kelebihan kapasitas itu juga terjadi misalnya di Vietnam, Myanmar, Thailand, hingga Malaysia. Sehingga mereka pun menutup pasarnya. "Jadi konteks kelebihan kapasitas juga terjadi di tempat lain."
Kendati demikian, Hendi melihat masih ada pasar luar negeri yang terbuka, antara lain adalah Filipina yang masih kekurangan produksi semen. Selain itu, Australia dan Selandia Baru juga menjadi pasar lantaran mereka tidak mau membuat pabrik baru. " Fiji dan negara-negara di Pasifik itu juga pasar kami, kebutuhan mereka semua kami yang penuhi."
Dalam kondisi kelebihan kapasitas itu juga, Hendi mengatakan pasar semen Tanah Air juga dibayangi oleh harga murah semen Cina. Ia mengatakan harga jual rata-rata Semen asal Negeri Panda adalah US$ 100 per ton. Sehingga, per sak bisa sangat rendah harganya. Sementara harga semen lokal adalah di kisaran US$ 58 per ton. Akibatnya, persaingan pun bisa menjadi semakin ketat.
"Di Indonesia kan 58 dolar per ton. Jadi kalau di Cina bisa jual lebih murah. Kami lihatnya ini indikasi dumping. Ini sudah terjadi, industri yang sudah terdampak, baja, kaca dan keramik kan," kata Hendi.
Dengan kondisi tersebut, Hendi meminta pemerintah menutup celah impor semen maupun clinker dari negara lain masuk ke Tanah Air. Selain itu, ia juga berharap pemerintah membatasi keluarnya izin pabrik anyar lantaran dikhawatirkan bisa memperburuk kondisi kelebihan kapasitas di tanah air.
Dalam rapat itu, Hendi memang kerap mengeluhkan kelebihan kapasitas produksi semen di Tanah Air. Ia mengatakan kondisi tersebut terjadi lantaran industrinya tidak dibatasi. "Seperti kami alami di Vietnam, di sana saja sudah memiliki aturan untuk tidak membuka pabrik baru selama kondisi pasarnya masih over capacity," ujar Hendi.
Hendi berujar Vietnam baru akan membuka pasarnya kalau kelebihan kapasitas sudah mencapai 5 persen. "Sementara, saat ini di Indonesia kelebihan kapasitas sudah mencapai 45 persen namun pasar masih belum ditutup dan izin pabrik baru masih daja terjadi."
Berdasarkan catatannya pada akhir tahun 2019 saja masih ada penambahan kapasitas produksi semen hampir sembilan juta ton pabrik baru oleh investor asing. Kondisi itu, menurut dia, akan mempersulit dan terjadi persaingan tidak sehat di industri.
Senada dengan Hendi, Direktur Utama Semen Baturaja, Jobi Triananda, juga mengatakan kelebihan pasokan semen nasional juga terasa di wilayahnya, Sematera Selatan. Ia mengatakan kelebihan suplai tersebut cukup besar dan mengganggu pasar sehingga menekan harga penjualan di sana. "Harga hari ini kami harus menjual dengan sangat-sangat tipis sekali untuk menciptakan keuntungan, mengingat sangat kerasnya persaingan di tingkat retail," tutur dia.
CAESAR AKBAR