Tempo.Co, Jakarta - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi, menyebut saat ini tantangan utama yang dihadapi oleh PT Freeport Indonesia adalah merosotnya produksi lantaran tambang di permukaan sudah habis. Karena itu, saat ini perseroan pun mesti melakukan transisi ke tambang bawah tanah yang memakan waktu.
Perseroan memang telah memperkirakan bahwa selama masa transisi itu produksi di sana bakal merosot drastis. Karena itu, Fahmy mengatakan perusahaan tambang di Bumi Papua itu mesti melakukan beberapa langkah agar pertambangan tersebut bisa segera menghasilkan dan meningkatkan produktivitas.
"Perlu percepatan dalam penambahan modal, penggunaan teknologi canggih, dan tenaga kerja berkapabilitas," ujar Fahmy kepada Tempo, Selasa, 18 Februari 2020. Berikutnya, agar putra Papua dapat terlibat lebih banyak lagi dalam pertambangan bawah tanah, maka mereka perlu dipersiapkan secara khusus, baik dari segi pendidikan maupun pelatihan terkait teknologi tersebut.
Saat ini, untuk pertama kalinya ada putra Papua di jajaran direksi Freeport, yakni Claus Wamafma yang menempati posisi direktur. Fahmy menilai masuknya Claus di jajaran direksi PT Freeport Indonesia sangat tepat dan positif.
Langkah tersebut dinilai dapat menunjukkan keterwakilan putra daerah dalam mengelola tambang di Bumi Cendrawasih. "Keterwakilan ini diharapkan dapat menurunkan potensi permasalahan sosial yang sering terjadi," ujar Fahmy.
Kendati, ia melihat masuknya anak daerah tidak secara langsung memberi dampak ekonomi kepada wilayah setempat. Sebab, menurut Fahmy, dampak ekonomi bagi daerah Papua sangat ditentukan oleh besaran deviden bagian Pemerintah Daerah dan efek berganda kegiatan perseroan.
Direktur Utama Holding Pertambangan Mining Industry Indonesia (MIND ID) Orias Petrus Moedak sebelumnya telah meminta semua pihak bersabar mengenai laba yang dihasilkan PT Freeport Indonesia. Belakangan Dewan Perwakilan Rakyat sempat menanyakan soal kecilnya laba perusahaan tambang itu.
"Kami membeli Freeport ya memang dua tahun ini kami berencana ikat pinggang karena sedang transisi dari open pit ke underground, tunggulah bersabar dua tahun lagi," ujar Orias di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu, 29 Januari 2020.
Menurut Orias, kalau nantinya kondisi transisi sudah selesai dan menjadi normal, perseroan bisa mendapat pemasukan US$ 1 miliar per tahun. Kalau itu sudah terjadi, tutur dia, maka dampaknya pun akan positif bagi perusahaan. Kendati demikian, perseroan mesti bersabar menahannafas dalam dua tahun ke depan hingga 2022.
"Enggak apa-apa menahan nafas dua tahun, meski laba turun tapi EBITDA masih besar. EBITDA kami masih Rp 12 triliun. Kalau dari Freeport masuk Rp 15 triliun ya menjadi Rp 27 triliun nantinya, tapi tunggulah sabar dua tahun lagi," tutur Orias.
Dilansir dari Bisnis, kinerja produksi PT Freeport Indonesia (PTFI) sepanjang tahun lalu mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan dengan 2018. President & CEO Freeport-McMoRan Richard C. Adkerson mengatakan penurunan tersebut terjadi karena adanya transisi penambangan dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah.
Berdasarkan laporan operasi dan keuangan 2019 Freeport-McMoRan Inc., produksi tembaga Freeport Indonesia sepanjang periode Januari-Desember 2019 sebanyak 607 juta pounds. Jumlah tersebut anjlok 47,67 persen dari produksi tembaga 2018 sebanyak 1,16 juta pounds.
CAESAR AKBAR | ANTARA