TEMPO.CO, Jakarta - Rapid Kajian Hasil Lingkungan Strategis atau KHLS terkait pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur telah rampung. Kajian ini diluncurkan sebagai bagian dari masterplan final yang tengah disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Kajian ini sebagai basis untuk menyiapkan ibu kota negara. Dengan kajian ini, kami memastikan lingkungan hidup di sana terjaga, kami berkomitmen untuk memperbaikinya,” kata Deputi Bidang Pengembangan Regional, Bappenas, Rudy Soeprihadi Prawiradinata, dalam diskusi di Bappenas, Selasa, 11 Februari 2020.
Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan ibu kota negara pindah ke Panajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Tahun 2020, pemerintah telah menargetkan groundbreaking akan dimulai.
Rudy melanjutkan, bahwa dalam Rapid KLHS ini, ada empat temuan atau masalah utama yang ditemukan pemerintah. Pertama, keterbatasan suplai air baku. Kedua, wilayah Ibu Kota Negara dan sekitarnya merupakan habitat dan ruang jelajah beberapa spesies kunci. Di antaranya orangutan, bekantan, beruang madu, pesut, dan dugong.
Ketiga, terdapat 109 lubang tambang yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Lalu keempat, Kalimantan Timur memiliki ecological footprint tinggi di Kalimantan.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Laksmi Wijayanti, mengatakan menyebut Kalimantan memang memiliki banyak hambatan dan limitasi ekologis. Ini adalah salah satu latar belakang dilakukannya KLHS ibu kota baru.
Maka atas situasi ini, Rapid KLHS pun menghasilkan rekomendasi berupa 10 prinsip smart and forest city hingga 5 peta jalan pemulihan dan perbaikan lingkungan. Satu dari 10 prinsip ini adalah ibu kota baru memiliki jaringan ruang hijau yang terstruktur. “Untuk meningkatkan daya dukung, dibutuhkan jaringan ruang perlindungan dan wilayah dengan perlakuan hati-hati,” kata Laksmi.