TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi VI dari Fraksi Demokrat Herman Khaeron mengatakan, pemerintah mesti memiliki solusi berkelanjutan dalam menangani kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Sebabnya, dana yang mesti digelontorkan perseroan ke nasabah Jiwasraya terus naik seiring berjalannya waktu.
"Kemarin di rapat Panja saya tanya, berapa jebolnya? Sekarang sudah Rp 16 triliun," ujar Herman di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta, Ahad, 2 Februari 2020. Ia mengatakan angka itu naik Rp 2 triliun dari laporan per November 2019 yang sekitar Rp 14 triliun.
Herman mengatakan, duit Rp 16 triliun itu adalah kewajiban pembayaran dari Jiwasraya kepada nasabah yang sudah jatuh tempo, berdasarkan rapat Panitia Kerja Komisi VI beberapa waktu lalu. "Jadi ada kenaikan, itu pasti, setiap saat pasti ada kenaikan, tapi lalu bagaimana perusahaan itu beroperasi dengan risk based capital 120 persen minimal, itu butuh Rp 32,89 triliun yang bisa jadi hari ini juga naik lagi."
Untuk itu, ia berpendapat, ke depannya, solusi yang ditelurkan mesti berkelanjutan dalam memenuhi hak nasabah, juga memenuhi rasa keadilan. "Jangan yang satu dibayar yang lain tidak. Atau baru terbayar satu dua tahun lalu terhenti," tutur Herman. Dengan demikian, ia meminta semua pihak merumuskan dulu sebaik mungkin, sehingga bisa menjamin pembayaran tanggungan Jiwasraya secara tuntas.
Sebelumnya, kondisi keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Peresero) terperosok hingga mencatatkan risk based capital atau RBC negatif 805 persen karena satu produk, yakni Saving Plan. Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko buka suara bagaimana hal tersebut dapat terjadi.
Hexana menjelaskan bahwa setelah dirinya dan jajaran direksi baru menempati kursi manajemen, perseroan bersama salah satu konsultan melakukan kajian terkait akar permasalahan dari merosotnya kondisi keuangan BUMN ini.
Saat ini Jiwasraya mencatatkan RBC jauh di bawah ketentuan minimal dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni 120 persen. Per September 2019, ekuitas perseroan tercatat negatif Rp 23,92 triliun dan mengalami kerugian Rp 13,74 triliun.
Menurut Hexana, kajian yang dilakukannya berbuah tiga poin akar permasalahan. Pertama, perseroan meluncurkan produk yang membutuhkan likuiditas tinggi, tetapi menjanjikan imbal hasil yang sangat tinggi
Imbal hasil yang tinggi tersebut menarik minat sejumlah nasabah dan menjadi sumber cuan bagi Jiwasraya. Hal tersebut terlihat dari terus bertambahnya nilai premi produk JS Plan, hingga puncaknya pada 2017 pendapatan premi Saving Plan mencapai 75,3 persen dari total premi Jiwasraya.
Pada 2015, perolehan premi Jiwasraya Plan mencapai Rp 5,15 triliun atau 50,3 persen dari total premi kala itu, pada 2016 meningkat menjadi Rp 12,57 triliun (69,5 persen dari total premi), dan 2017 menjadi Rp 16,54 triliun dengan total premi Rp 21,91 triliun. Pada 2018, perolehan premi JS Plan menyusut menjadi Rp 5,46 triliun atau 51,1 persen dari total premi.
"Kenyataannya (imbal hasil JS Plan) tidak pernah bisa di-cover oleh investasi. Imbal hasil yang dijanjikan itu efektifnya 13 persen , turun jadi 7 persen , kondisi pasar jauh lebih rendah dari itu (sehingga menyebabkan kerugian)," ujar Hexana dalam paparannya saat rapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin, 16 Desember 2019.
CAESAR AKBAR | BISNIS