Silmy yang juga Ketua Asosiasi Besi dan Baja Nasional juga meminta Kementerian Perindustrian mencabut dua peraturan. Keduanya adalah Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 32 Tahun 2019 tentang Pertimbangan Teknis Impor Besi Atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya dan Nomor 35 Tahun 2019 tentang Penerbitan Pertimbangan Teknis untuk Pengecualian dari Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia untuk Produk Besi/Baja dan Kabel Secara Wajib.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian, Harjanto, menyatakan pemerintah masih mengkaji kedua aturan itu.
"Detilnya belum bisa saya komunikasikan karena sedang dalam proses harmonisasi dengan kementerian lainnya," kata dia. Kajian ini dilakukan bersama Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Pembahasan telah berlangsung sejak awal tahun lalu usai kedua peraturan tersebut diminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditunda pemberlakuannya hingga 1 Januari 2020. DPR saat itu mempertimbangkan masaknya barang impor baja di dalam negeri.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyatakan permintaan proteksi dari pemerintah sulit dilakukan lantaran tren global saat ini cenderung proteksionis. Untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan, dia menuturkan solusinya hanya dengan memperluas lini bisnis ke sektor hilir. "Kecuali harga produknya bisa kompetitif dengan barang impor, sulit untuk bersaing," kata dia.
Senior Vice President Research PT Kanaka Hita Solvera, Janson Nasrial, menyatakan restrukturasi utang KRAS mampu menghasilkan sentimen positif namun hanya sesaat.
Pelaku pasar tetap akan memperhatikan pendapatan dan laba bersih perusahaan. Namun dia memproyeksi upaya menyulap laporan keuangan KRAS berat dilakukan. "Industri baja global sedang lesu karena over supply baja dari Cina yang harganya jauh lebih murah," katanya.
VINDRY FLORENTIN