TEMPO.CO, Jakarta - PT Krakatau Steel (Persero) Tbk kembali mengencangkan ikat pinggang tahun ini. Perusahaan melanjutkan efisiensi untuk memperbaiki kondisi keuangan usai melakukan restrukturasi utang.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menargetkan mampu menekan biaya operasi lagi. Perusahaan telah menurunkan biaya operasi dari US$ 33 juta di awal 2018 menjadi US$ 19 juta saat ini. "Targetnya rata-rata di 2020 operational expenses cost bisa US$ 16,5 juta," katanya kepada Tempo, Rabu 29 Januari 2020.
Efisiensi itu akan dilakukan dengan berbagai cara. Perusahaan berupaya melakukan negosiasi ulang dengan vendor, penghematan energi, hingga mengoptimalkan utilisasi pabrik. Perusahaan juga mengoptimalkan tenaga kerja dengan menggabungkan dua tugas untuk dilakukan satu pekerja.
Emiten berkode KRAS ini juga akan membenahi aset perusahaan. Silmy menyatakan aset yang tidak berhubungan dengan bisnis utama perseroran serta tidak menguntungkan akan dijual. Begitu pula dengan aset yang menguntungkan namun tidak sejalan dengan lini bisnis utama Krakatau Steel.
"Untuk aset yang menguntungkan dan sesuai business core, kami sedang pikir-pikir untuk menjual semuanya atau sebagian," kata dia.
Menurut Silmy, tahun ini perusahaan belum akan mengalokasikan dana internal untuk investasi di proyek baru. Perusahaan akan mendorong investasi dari mitra-mitra strategis. "Kami fokus optimalisasi fasilitas yang ada dulu," ujarnya.
Dia optimistis mendapat dukungan investor lantaran telah melakukan restrukturasi utang senilai US$ 2 miliar. Beban keuangan perusahaan menyusut lantaran beban bunga berkurang dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta serta ada penghematan beban keuangan US$ 685 juta.
Dengan restrukturasi, Silmy optimistis perusahaan mampu mencetak laba sebesar US$ 20,2 juta setelah merugi delapan tahun berturut-turut.
Selain efisiensi dari internal perusahaan, Silmy berharap ada dukungan pemerintah untuk memperbaiki kondisi industri dalam negeri. Pasar baja saat ini dibanjiri produk impor yang harganya jauh lebih murah. Dia mendesak pemerintah memberikan perlindungan dengan mengeluarkan kebijakan anti dumping, anti subsidi, dan safeguards.
Pemerintah juga didorong menerapkan standar sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk impor.