TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kenaikan tarif ojek online atau ojol belum layak dilakukan saat ini. YLKI pun membandingkan dengan kenaikan tarif angkutan umum resmi yang hingga saat ini belum ada penyesuaian.
Sekretaris Harian YLKI Agus Suyatno mengatakan, pasca kenaikan tarif ojek online September 2019 lalu, tidak ada kajian atas pelayanan ojol pengguna dari aspek keamanan. Juga, pendapatan pengemudi ojol turun karena kebijakan aplikator yang jor-joran merekrut anggota baru, tanpa mempertimbangkan tingkat permintaan dan suplai.
Tak hanya itu, turunnya pendapatan pengemudi juga tergerus oleh promo yang diberikan oleh pihak ketiga, seperti OVO dan Gopay. Promo tersebut masih diperbolehkan asal tidak melewati ketentuan tarif batas bawah. "Hal ini yang seharusnya diintervensi Kemenhub, bukan melulu kenaikan tarif," kata Agus kepada Bisnis.com, Rabu 29 Januari 2020.
Menurut dia, formulasi kenaikan tarif ojek online pada September 2019 sudah mencerminkan tarif yang sebenarnya dan sesuai dengan biaya pokok dengan margin laba yang sewajarnya. Selama tiga bulan inipun belum ada dinamika eksternal yang secara signifikan berpengaruh terhadap biaya operasional ojol, misalnya kenaikan harga BBM.
Agus menilai alasan kenaikan tarif ojek online karena naiknya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga tidak relevan. Sebab pihak aplikator ojek online tidak menanggung BPJS Kesehatan pengemudinya.
BISNIS