TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Direktur Utama Televisi Republik Indonesia Helmy Yahya memiliki cara agar dapat menayangkan Liga Inggris dengan harga lebih murah dari Liga Indonesia.
Untuk menayangkan Liga Inggris, tutur Helmy, TVRI tak merogoh kocek terlalu dalam. Untuk satu musim, lembaga penyiaran pelat merah itu perlu menggelontorkan US$ 3 juta dengan Mola TV berkomitmen membeli USD 1 juta. Sehingga, perseroan tinggal membayar USD 2 juta per musim.
"Kalau dihitung itu hanya Rp 130 juta per pertandingan," tutur dia dalam rapat bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 28 Januari 2020.
Pembelian program itu pun, Menurut Helmy, diperlukan agar stasiun televisi tersebut bisa dilirik lagi oleh masyarakat. Dengan biaya tersebut pun, TVRI mendapat siaran 76 pertandingan, ditambah preview, hinghlight, hingga cuplikan setelah pertandingan.
Dia menjelaskan alasan stasiun televisi publik milik pemerintah itu lebih memilih menyiarkan Liga Inggris ketimbang Liga Indonesia. Menurut dia, itu berkaitan dengan perbedaan harga pembelian siaran dua program tersebut.
"Kalau ditanya kenapa tidak beli Liga Indonesia, karena harganya empat sampai lima kali lipat Liga Inggris, ini perlu kami sampaikan," ujar Helmy.
Selama ini, kata Helmy, hanya ada empat program yang ditunggu-tunggu penonton Indonesia, antara lain pertandingan sepak bola, badminton, drama, dan dangdut. Saat ini, TVRI telah menayangkan dua program, yaitu sepak bola dan badminton.
"Stasiun TV perlu killer content dan monster program yang dibayar mahal hanya untuk supaya orang singgah di stasiun TV. Liga inggris adalah showcase, sebuah etalase, agar orang mau masuk dan melihat program kami lainnya," tutur dia.
Sebelumnya, Anggota Dewan Pengawas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko memaparkan alasan Helmy Yahya diberhentikan dari posisinya dalam rapat bersama Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu alasannya adalah terkait dengan kontrak tayangan sepak bola Liga Inggris oleh perusahaan televisi pelat merah itu.
"Saya akan sampaikan kenapa Liga Inggris itu menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya hutang skala kecil seperti Jiwasraya," ujar dia dalam rapat di Kompleks Parlemen, Selasa, 21 Januari 2020.
Pamungkas menceritakan bahwa Dewan Pengawas mendapatkan informasi adanya tagihan dari GMV alias Global Media Visual untuk Liga Inggris Rp 27 miliar pada 31 Oktober dan jatuh tempo pada 15 November 2019. Hingga 31 Desember 2019, tutur dia, tagihan itu belum terbayarkan.
Pembayaran Liga Inggris, menurut Pamungkas, memang tidak ada dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan 2019 yang telah disahkan. Dengan demikian tagihan itu menjadi hutang pada tahun 2020. Padahal, pada tahun ini pun, pembayaran tersebut tidak ada dalam RKAT.
Karena itu, Pamungkas mengatakan tagihan pembayaran Liga Inggris kepada perseroan bisa semakin menumpuk. Total, tagihan itu adalah sekitar Rp 69 miliar belum termasuk pajak. Rinciannya, angka tersebut terdiri dari Rp 27 miliar tagihan 2019, Rp 21 miliar tagihan pada Maret 2020, serta Rp 21 miliar pada September 2020, dengan masing-masing di luar biaya pajak.
Pamungkas mengatakan pengadaan Liga Inggris itu tidak sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik alias AUPB dan Kebijakan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2018. Misalnya terkait kajian manfaat, biaya dibandingkan pendapatan, berita acara negosiasi, hingga kesesuaian tupoksi.