TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bank sentral tetap akan menjaga nilai tukar rupiah sesuai fundamental. Apabila penguatan tersebut bergerak di luar fundamentalnya, BI siap untuk melakukan intervensi.
Pernyataan Perry merespons penguatan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sejak akhir 2019 hingga awal 2020. Namun, penguatan rupiah ternyata dikhawatirkan semakin menekan kinerja ekspor.
“Kami yakinkan, jika rupiah menguat terlalu jauh dan tidak berdampak terhadap perekonomian, kami tidak segan mengarahkan nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya dengan melakukan beberapa langkah,” kata Perry di tengah rapat bersama Komis XI DPR, Senin, 27 November 2020.
Perry menjelaskan faktor utama pendorong penguatan rupiah kali ini adalah inflasi yang rendah dan aliran modal asing yang masih besar. Padahal, rupiah sempat hampir menyentuh level Rp 15.000 per dolar AS. Kini, pergerakan rupiah terkerek naik hingga menyentuh level Rp 13.800 per dolar AS.
Sejalan dengan penguatan tersebut, neraca pembayaran Tanah Air membaik dengan melandainya transaksi berjalan menjadi 2,93 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2019. Perry yakin perbaikan ini akan berlanjut dan dia memproyeksikan transaksi berjalan pada kuartal I-III akan mengalami penurunan.
“Jadi defisit transaksi turun, aliran modal memadai meskipun geopolitik masih berlanjut,” kata Perry.
Fluktasi kondisi geopolitik yang masih akan berlanjut ini membuat risiko ketidakpastian belum hilang. Meskipun demikian, Perry meyakini tingkat ketidakpastian tersebut akan menurun.
Selain itu, mekanisme pasar juga berjalan dengan baik sehingga supply dan demand terbentuk normal. Kondisi ini diperkuat pula oleh perbaikan mekanisme ekspor. “Kepercayaan pelaku pasar terhadap kebijakan-kebijakan BI meningkat, “ ucap Perry.
Sementara itu, ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai ada beberapa hal yang masih perlu diwaspadai mengingat penguatan rupiah belum ditopang kinerja ekspor. Hal ini dibuktikan dengan nilai ekspor yang cenderung melambat. “Penguatan yang sifatnya temporer bisa kembali melemah apabila situasi global berubah,” katanya.
Selain itu, devisa pariwisata justru berisiko turun akibat wabah corona virus. Bhima melihat pelaku pasar juga masih menunggu realisasi dari trade deal pertama AS-Cina.
Lebih lanjut, Bhima sepakat penguatan rupiah dapat menekan sisi ekspor lantaran harga produk domestik di pasar internasional lebih mahal. Jika demikian, penguatan rupiah akan menurunkan daya saing RI.
Menguatnya kurs rupiah saat ini dinilai sebagian besar sebagai akibat dari perang dagang AS-Iran yang mereda dan kembali menekan harga minyak mentah.
BISNIS