TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Fuad Rizal menyampaikan alasan pembatalan penerbitan sukuk senilai US$ 900 juta atau Rp 12,5 triliun. Pembatalan itu berkaitan dengan belum selesainya audit laporan keuangan hingga masa rapat umum pemegang saham atau RUPS tiba.
"Saat ini, proses audit belum selesai. Padahal, salah satu syarat penerbitan sukuk ialah harus ada laporan keuangan audit yang validitasnya kurang dari enam bulan," ujar Fuad di kantornya, Kamis, 23 Januari 2020.
Garuda sebelumnya berencana menerbitkan global sukuk atau instrumen keuangan lainnya untuk menyehatkan perusahaan. Penerbitan sukuk ini sedianya bakal digunakan untuk me-refinancing utang jangka pendek yang masih ditanggung oleh entitas.
Per September 2019, total utang emiten berkode saham GIAA tersebut berjumlah US$ 1,6 miliar. Angka ini lebih rendah 12 persen dibandingkan dengan catatan liabilitas per kuartal II 2019 senilai US$ 1,66 miliar.
Sedangkan utang jangka panjang perseroan per September 2019 tercatat senilai US$ 112,3 juta. Nilai utang itu naik 44,5 persen dibandingkan dengan catatan per kuartal II 2019 senilai US$ 94,8 juta.
Baca Juga:
Fuad mengatakan, dengan kondisi saat ini, perusahaan memutuskan untuk mengedrop agenda transaksi material. "Karena transaksi material pendanaannya di atas 50 persen, jadi harus ada persetujuan ulang," ucapnya.
Dalam laporan keterbukaan, emiten maskapai penerbangan pelat merah itu membidik tiga opsi pendanaan penerbitan sukuk global melalui skema private placement dan skema peer to peer landing. Dalam prospektus yang disampaikan perseroan, opsi pendanaan pertama ialah dengan penerbitan sukuk global dengan jumlah maksimum US$ 750 juta atau Rp 10,49 triliun.
Untuk bunga akan dibayarkan secara periodik kepada pemegang sukuk global tiap enam bulan. Sedangkan utang pokok Global Sukuk akan dibayarkan seluruhnya dan sekaligus pada tanggal jatuh tempo, paling lambat pada 2024 atau periode lain yang disetujui para pihak yang terlibat. Tingkat bunga masih dalam negosiasi.
Opsi pendanaan kedua ialah obligasi lewat mekanisme private placement, dengan nilai maksimum US$ 750 juta atau setara Rp 10,49 triliun. Tingkat bunga untuk obligasi ini juga masih dalam proses negosiasi.
Rencananya, bunga akan dibayarkan setiap tiga bulan atau enam bulan. Sedangkan pokok obligasi akan dibayarkan sekaligus pada tanggal jatuh tempo obligasi, paling lambat pada 2024 atau periode lain yang disetujui para pihak.
Sementara itu, opsi pendanaan yang terakhir yaitu pendanaan dengan skema peer to peer lending (P2P Lending) dengan jumlah sebanyak-banyaknya sebesar US$ 500 juta. Tingkat bunga untuk utang ini pun sedang dalam proses negosiasi, namun rencananya bunga akan dibayarkan setiap tiga bulan. Sedangkan pokok akan dibayarkan sekaligus pada tanggal jatuh tempo paling lambat pada 2024.
BISNIS