TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman mengatakan hingga 16 Januari 2020, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) telah mencapai Rp 1.230,44 triliun dengan outstanding sebesar Rp 738,37 triliun.
"Melalui metode penerbitan dengan cara lelang, bookbuilding, maupun private placement," ujar Luky dalam Forum Koordinasi Penyiapan Proyek SBSN Tahun 2021 dan Kick Off Pelaksanaan Proyek SBSN Tahun 2020 di kantornya, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2020.
Dalam kesempatan itu, Luky juga menandatangani Komitmen Pelaksanaan Proyek SBSN TA 2020 oleh para Pimpinan Unit Eselon I Kementerian/Lembaga (K/L) Pemrakarsa Proyek SBSN, serta pemberian penghargaan satuan kerja (Satker) pengelola proyek SBSN TA 2019 dengan kinerja terbaik.
Sebagai gambaran, pada 2019, pembiayaan proyek SBSN sebesar Rp 28,34 triliun, meliputi 16 unit eselon I di 7 K/L untuk 619 proyek yang tersebar di 34 provinsi. Sedangkan di tahun 2020 pembiayaan mencapai Rp27,35 triliun, yang meliputi 17 unit eselon I di 8 K/L untuk 728 proyek yang tersebar di 34 provinsi.
Luky menuturkan turunnya nominal pembiayaan itu bergantung kepada proyeknya. Ia mengatakan proyek yang masuk ke dalam skema pembiayaan tersebut direncanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, sementara Kementerian Keuangan bertanggung jawab pada penyelenggaraan.
"Kami melakukan peninjauan rutin dan mendapat angka Rp 27,3 triliun pada 2020, tapi dari segi kementerian lembaga dan proyek bertambah, jadi bukan harus melihat nilai total besarnya tapi juga lihat proyeknya," tutur Luky.
Ia mengatakan pembiayaan itu tahun ini masih akan banyak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur sosial seperti madrasah, perguruan tinggi Islam, hingga asrama haji.
Menurut Luky, pembiayaan ini berbeda karena berbasis syariah dan ada akadnya. Sehingga secara pertanggungjawaban pun dituntut lebih. "Ya kan karena bicara tentang investor harus meyakinkan kami bisa deliver janji kepada investor."
CAESAR AKBAR