Tempo.Co, Jakarta - Tim investigasi Ombudsman segera memanggil Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab Ombudsman menemukan adanya inkonsistensi dalam Peraturan OJK mengenai tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan asuransi.
Pertama menyangkut kewajiban direktur kepatuhan. “Peraturannya makin hari makin longgar,” kata anggota Ombudsman Alamsyah Saragih dalam Ngopi Bareng Ombudsman di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Januari 2020.
Beberapa bulan terakhir, sejumlah perusahaan asuransi dalam negeri diterpa sejumlah masalah. Mulai dari default atau gagal bayar Rp 12,4 triliun di PT Asuransi Jiwasraya, hingga dugaan korupsi Rp 10 triliun di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri.
Alamsyah melanjutkan, pada awalnya, POJK 2/2014 mewajibkan perusahaan asuransi memiliki direktur kepatuhan. Aturan ini kemudian direvisi menjadi POJK 73/2016. Sehingga, ada kelonggaran hingga 3 tahun bagi perusahaan asuransi.
Lalu akhir Desember 2019, aturan kembali direvisi menjadi POJK 43/2019. Dalam aturan ini, OJK kembali menegaskan kewajiban perusahaan asuransi memiliki direktur kepatuhan. Tapi pada praktiknya, belum semua menjalankan aturan ini.
Kedua, Ombudsman juga menemukan adanya penghapusan uji kemampuan dan kepatutan bagi direksi dan komisaris perusahaan asuransi. Penghapusan ini tertuang dalam POJK 2/2014. Uji kemampuan pun diganti dengan persetujuan OJK saja. “Perubahan ini dapat menurunkan akuntabilitas prosedur dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” kata Alamsyah.
Pemanggilan ini juga dilakukan karena banyaknya masyarakat yang melaporkan OJK ke Ombudsman sepanjang tahun 2019. Dari 74 laporan, 19 persen lebih mengenai OJK. “Menyangkut pelayanan jasa keuangan dan asuransi,” kata dia.