TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia atau MUI tidak mempersoalkan jika nantinya dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja tak lagi mewajibkan sertifikasi halal (mandatory) atau sifatnya menjadi sukarela (voluntary).
"Kami posisinya, skema apapun itu siap. Skema mandatory kita siap dan skema voluntary, ya, sekarang kita sudah jalankan," kata Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa, 21 Januari 2020.
Pernyataan Lukmanul menanggapi beredarnya draf Omnibus Law yang pada pasal 552 menyebutkan bahwa sejumlah pasal dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dicabut dan dinyatakan tak berlaku. Sejumlah pasal yang dimaksud adalah: pasal 4, pasal 29, pasal 44, dan pasal 42.
"Kalau skema mandatory, berarti kesempurnaannya dan kalau voluntary berarti tidak sesempurna yang kita harapkan," kata Lukmanul. Ia pribadi menyebutkan mandatory sertifikasi halal lebih memperkuat jaminan produk halal dalam negeri ketimbang sertifikasi jika dijadikan sifatnya sukarela.
Meski begitu, Lukmanul menyebutkan MUI akan tetap siap menunggu apapun hasil RUU tentang Omnibus Law. Pasalnya, lembaga tersebut sudah sejak lama memiliki berbagai kelengkapan infrastruktur sertifikasi halal. "Skema apapun tidak ada masalah. Jangan dikatakan bahwa MUI tidak siap," ucap Lukmanul.
Ia mengklaim MUI telah memiliki seluruh sumber daya manusia yang lengkap untuk melakukan sertifikasi halal. "Mulai dari auditor, pemeriksa, semua siap untuk mengerjakan itu. Sudah kita hitung kesiapan kita, bukan hanya ngomong saja," kata dia.
Sementara itu, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan Omnibus Law terkait sertifikasi halal pada intinya ingin memperbaiki proses perizinan agar waktu pengurusan lebih singkat. "Sertifikasi halal belum berjalan seperti yang diinginkan. Ada yang dapat diurus dalam waktu singkat, ada pula yang membutuhkan waktu lama," ucapnya di Batam, Kepulauan Riau, Selasa, 21 Januari 2020.
Dengan perbaikan aturan, Fachrul berharap sertifikat halal dapat selesai dalam waktu 21 hari pengurusan. Dalam waktu 21 hari itu, maka dapat ditetapkan apakah sertifikat halal dapat diterbitkan atau tidak. "Dengan tidak dengan menyogok," kata dia.
ANTARA