TEMPO.CO, Jakarta - Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berupaya melegalkan sepeda motor sebagai angkutan umum (ojek online), melalui Revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ketua Komisi V DPR, Lasarus, meyakini pembahasan bisa diselesaikan tahun ini karena hanya berupa penambahan poin.
"Bisa selesai 2020. Revisi kan terbatas, dan fokus kami hanya memastikan angkutan daring diatur UU," ucapnya di kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa 21 Januari 2020.
Rencana amandemen dipicu persoalan operasional angkutan roda dua berbasis aplikasi atau ojek online dalam jaringan yang berlarut-larut. Kemarin siang pun, Dewan berdiskusi dengan sejumlah perhimpunan pengemudi ojek daring yang dianggotai ribuan anggota, seperti Perhimpunan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPTJDI) dan Gabungan Aksi Roda Dua (Garda).
Menurut Lasarus, aturan tertinggi untuk angkutan umum itu bisa diubah untuk menyelesaikan sejumlah persoalan ojek online, mulai dari tarif, kemitraan, hingga kewajiban perusahaan aplikasi terhadap mitra pengemudi. Apalagi, moda aplikasi itu berjalan hampir 10 tahun tanpa status transportasi umum. "Pasal yang akan dibahas masih dinamis tergantung perkembangan," kata Lasarus.
Revisi beleid itu bahkan diusulkan ke program legislasi nasional (Prolegnas) 2020, bersama 50 RUU prioritas lainnya. Sempat dibahas di level panitia kerja, RUU Angkutan Jalan itu disetor kepada Badan Legislasi DPR pada akhir 2019, sebelum disimpan Badan Musyawarah DPR sambil menunggu ketok palu di rapat paripurna dalam waktu dekat.
Semester pertama 2020 akan dimanfaatkan komisi untuk mengkaji dampak dan urgensi legalisasi motor, serta menerima masukan dari regulator, perwakilan konsumen, serta penyedia aplikasi, dalam hal ini GoJek dan Grab Indonesia.
Ketua PPTJDI, Igun Wicaksono, mengatakan forumnya akan menyumbang kajian legaligasi tersebut. "Sejak dua tahun lalu kami merintis data dari berbagai daerah soal kesulitan tanpa legalitas."
Ketua Umum Gabungan Admin Shelter Pengemudi Ojek Online Lampung, Miftahul Huda, mengatakan regulasi yang diterbitkan Kementerian Perhubungan pada pertengahan 2019 juga tak efektif. Hal itu membuat pengemudi mencari payung hukum yang lebih tinggi.
"Tak ada mekanisme sanksi, jadi aturan soal kemitraan dan tarif dilanggar terus," katanya di Gedung DPR.