TEMPO.CO, Jakarta - Mitra pengemudi ojek online yang tergabung dalam Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPTJDI) mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera melegalkan aturan terkait angkutan roda dua berbasis aplikasi. Permintaan itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi V DPR pada Selasa, 21 Januari 2020.
Dalam rapat tersebut, Ketua Presidium PPTJDI Igun Wicaksono mengungkapkan alasan perlunya negara mengakui angkutan roda dua berbasis daring ini. "Agar penumpang maupun pengguna jasa memperoleh perlindungan," ujar Igun di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa sore.
Baca Juga:
Igun menyampaikan, saat ini mitra pengemudi tengah menanti-nantikan adanya aturan resmi yang menaungi aktivitas ojek online. Menurut dia, selama lebih-kurang 10 tahun beroperasi, mitra pengemudi tak memperoleh perlindungan hukum.
Ia mengungkapkan, sebenarnya Kementerian Perhubungan telah menyusun beleid yang mengatur keselamatan operasional ojek online. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor. Adapun aturan terkait tarif operasionalnya diatur dalam peraturan turunan, yaitu Keputusan Menteri Perhubungan (KM) Nomor 348 Tahun 2019.
Namun, dua beleid itu tidak menyebutkan adanya sanksi terhadap pelanggaran. Regulasi yang dikeluarkan oleh Kemenhub juga tidak mengatur teknis lainnya, seperti pembayaran pajak.
"Padahal pemerintah harus menjaga agar industri ojol dapat berjalan," tuturnya.
Ketua Komisi V DPR Lasarus mengatakan pihaknya sedang mengusulkan adanya payung hukum yang menaungi operasional ojek online melalui Revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan. Revisi UU itu tengah didorong untuk masuk agenda program legislasi nasional alias Prolegnas 2020.
"Komisi V sudah sepakat agar revisi undang-undang ini dibahas dan dibuat kajian yang komprehensif," ujar Lasarus di tempat yang sama.
Lasarus mengatakan, untuk mendorong pembaruan undang-undang itu masuk ke ranah pembahasan, Dewan mesti menempuh proses yang cukup panjang. Pertama, Dewan mengusulkan Revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 kepada Badan Legislasi atau Baleg.
Rencana revisi ini telah disorongkan kepada Baleg pada akhir 2019 lalu. Baleg lalu menyetujui dan mengusulkannya kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Saat ini, menurut Lasarus, posisi rencana revisi undang-undang itu telah berada di tangan Bamus.
Setelah digodok di Bamus, rencana revisi undang-undang akan dirapatkan dalam rapat paripurna DPR untuk disetujui legislator. Sandainya diketok, pimpinan dewan akan menyerahkan surat pemberitahuan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Kemudian, Presiden Jokowi akan menerbitkan Surpres atau surat presiden yang isinya menunjuk kementerian terkait untuk ikut dalam rapat pembahasan RUU. "Nah, saat itulah RUU itu mulai dibahas," ucapnya.
Adapun pembahasan RUU ini akan melibatkan sejumlah pihak. Selain regulator, DPR bakal mengajak masyarakat, mitra pengemudi, pakar, hingga aplikator untuk memberikan masukan.
Ihwal detail pasal yang akan direvisi, Lasarus saat ini belum dapat merincikannya. "Masih sangat dinamis. Kami masih akan melihat perkembangan dan menyesuaikan dengan kajian akademisnya," tuturnya.
Lasarus menargetkan revisi undang-undang ini akan kelar pada 2020. "Karena pasal yang direvisi tidak menyeluruh, jadi waktunya tidak terlalu lama," tuturnya.,
FRANCISCA CHRISTY ROSANA