TEMPO.CO, Gresik - PT Pertamina (Persero) menilai tingginya beban pajak atas penyerapan hasil produksi minyak mentah (crude oil) jatah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) membuat harganya lebih tinggi dibandingkan dengan impor. Hal ini disampaikan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati di sela-sela Kick Off Program Percepatan Kilang Pertamina di fasilitas produksi PT Barata Indonesia (Persero), Senin kemarin.
Di tengah upaya menekan defisit neraca perdagangan dengan menyerap crude oil jatah KKKS, menurut Nicke, diketahui harga minyak yang diproduksi lebih mahal dibandingkan dengan impor. "Setelah kita bongkar, ternyata banyak regulasi seperti perpajakan. Memang bebannya lebih tinggi," ucapnya, Senin, 21 Januari 2020.
Sepanjang tahun lalu, Pertamina mencatatkan penyerapan minyak mentah dalam negeri dari bagian pemerintah, anak usaha Pertamina, dan KKKS mencapai lebih dari 90 persen dari total produksi minyak mentah di Indonesia. Adapun bagian minyak mentah yang diserap mencapai 147 juta barel (unaudited) dari 43 KKKS.
Realisasi tersebut melonjak lebih dari 1.000 persen dari total serapan dari KKKS 2018 sebanyak 10,1 juta barel. Dengan adanya peningkatan penyerapan minyak mentah dalam negeri yang dapat diolah di kilang Pertamina, maka akan berkontribusi terhadap turunnya volume impor minyak mentah.
Pertamina juga mencatatkan pembelian minyak mentah dari luar negeri sekitar 212.000 barel per hari atau sekitar 23 persen dari total kebutuhan (intake) kilang pada 2019. Jumlah ini berhasil mengalami penurunan signifikan lebih dari 30 persen dibandingkan dengan 2018.
Nicke menjelaskan, Pertamina pihaknya tetap mendukung kebijakan penyerapan crude bagian KKKS untuk menekan defisit neraca perdagangan. "Saya yakin permasalahan (regulasi perpajakan) ini juga terjadi di sektor manufaktur," katanya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku jengkel karena sejumlah pihak seolah senang dan memilih mengimpor migas ketimbang memproduksi sendiri. Ia bahkan menyebut impor bahan bakar minyak dan gas itulah yang telah menghambat transformasi ekonomi di Indonesia.
"Tidak bener ini, avtur masih impor, padahal CPOatau crude palm oilitu bisa juga dipindah menjadi avtur. Kok kita senang impor avtur, ya karena ada yang hobinya impor. Karena apa, untungnya gede. Sehingga transformasi ekonomi di negara kita ini mandek gara-gara hal-hal seperti ini," kata Jokowi dalam sambutan pembukaan di acara Peresmian Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional RPJMN 2020-2024 di Istana Negara pada pertengahan Desember tahun lalu.
Menurut Jokowi, impor migas maupun petrokimia itu yang akhirnya menyebabkan nilai impor yang besar sehingga menyebabkan defisit neraca berjalan. Oleh karena itu ia memerintahkan pengembangan sumber daya alam substitusi yang dapat diubah menjadi bahan bakar seperti CPO menjadi biodiesel, maupun batu bara menjadi gas.
BISNIS