TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tak menjawab gamblang soal peluang batalnya kenaikan tarif iuran BPJS Keehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) untuk Peserta Bukan Penerima Upah atau Bukan Pekerja Kelas III.
"Solusi kan sudah kita keluarkan dan sepakati, tapi yang punya kemampuan untuk eksekusi itu kan yang punya uang. Aku kan hanya memberikan regulasi," ujar Terawan selepas rapat bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 20 Januari 2020.
Ia berjanji mempertanyakan langkah BPJS Kesehatan menaikkan iuran peserta kelas III.
Kenaikan iuran itu dipertanyakan oleh sebagian besar anggota Komisi IX DPR sebab alam rapat sebelumnya anggota Dewan menolak rencana pemerintah menaikkan premi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk kelas III sampai pemerintah menyelesaikan data cleansing.
Dewan juga mendesak pemerintah untuk mencari cara lain dalam menanggulangi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) kesehatan.
Terawan menyatakan pernah meminta BPJS Kesehatan untuk tidak menaikkan iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) Kelas III.
"Saya telah menjapri langsung Direktur Utama BPJS Kesehatan bahwa jangan menaikkan karena itu sudah kesepakatan kita semua saat rapat dengan DPR."
Dalam rapat itu sebagian besar anggota Komisi IX menuding pemerintah dan BPJS Kesehatan melanggar kesepakatan rapat.
Menurut Terawan, pengambil kebijakan adalaj BPJS Kesehatan dan bukan pemerintah dalam hal ini Kemenkes.
"Diskresinya di BPJS, bukan pemerintah. Karena saya tidak memiliki rentang kendali untuk memaksa, kalau di militer kan kalau ada enak. Kalau tidak ada ya repot sekali," tutur Menteri Terawan.
Sebelumnya, Terawan telah memberikan alternatif untuk menangani kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Alternaif pertama adalah pemerintah memberikan subsidi atas selisih kenaikan iuran JKN pada peserta PBPU dan BP kelas III.
Kedua, memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta PBI (Peneioma Bantuan Iuran) yang diproyeksikan pada tahun berikutnya.
Dengan cara itu diharapkan akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Peraturan Presiden 75 Tahun 2019. Profit inilah yang akan digunakan untuk menutupi iuran peserta PBPU dan BP Kelas III.
Alternatif ketiga, menurut Terawan, Kementerian Sosial melakukan perbaikan kualitas data PBI sekaligus mengintegrasikan data PBI dengan Data Terpadu Program Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Nantinya ada sejumlah PBI non DTKS yang akan dinonaktifkan oleh Menteri Sosial. Penonaktifan itu diharapkan bisa digantikan oleh peserta PBPU dan BP kelas III.
Selepas rapat, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan lembaganya sama sekali tidak berniat untuk melawan, membangkang, atau mengkhianati hasil rapat.
Menurut dia, BPJS Kesehatan hanya menjalankan hasil rapat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. BPJS Kesehatan bekerja sesuai kewenangan dan tanggung jawab yang telah diatur dan tidak bisa melampauinya.
"BPJS tentu harus patuh terhadap ketentuan perundang-undangan."
Fahmi menerangkan bahwa kenaikan iuran yang diputuskan oleh BPJS Kesehatan adalah hasil rapat tingkat menteri yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Rapat itu dihadiri Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Kepala Kantor Staf Presiden, Kementerian Sosial, dan Kementerian Dalam Negeri.
Pada akhir 2019, pemerintah resmi menetapkan tarif iuran kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per peserta per bulan.
Adapun tarif iuran kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu per peserta per bulan. Sementara tarif iuran kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per peserta per bulan. Kenaikan itu resmi berlaku pada awal tahun 2020.