TEMPO.CO, Jakarta - Kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri mendengung sejak 3 Februari 2017, ketika hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan keluar. Hitungan awal auditor negara menaksir potensi kerugian investasi Asabri, yang mengalihkan investasinya dari deposito ke penempatan saham langsung dan reksa dana sejak 2013, bisa mencapai Rp 16 triliun.
Dalam sebulan terakhir ini kasus Asabri baru merebak di pasar modal. Pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md, Jumat, 10 Januari 2020, menguatkan rumor tersebut.
Mahfud mengaku telah mendapat informasi tentang masalah di tubuh Asabri. “Saya mendengar ada isu korupsi di Asabri yang mungkin tidak kalah fantastisnya dengan Jiwasraya, di atas Rp 10 triliun gitu,” ujar Mahfud di kantornya.
Dalam audit BPK, Asabri kedapatan membeli saham bodong senilai Rp 802 miliar. Perseroan juga tercatat membeli dua saham gorengan, yakni milik PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) senilai Rp 203,9 miliar dan PT Sugih Energy Tbk (SUGI) sebesar Rp 452 miliar.
Ada juga pelepasan dua belas saham non-blue chip senilai Rp 1,062 triliun, sebelumnya dibeli dengan harga Rp 987 miliar ke reksa dana afiliasi yang diduga bertujuan mengerek keuntungan akhir tahun. Selain itu, BPK menyoroti pembelian ribuan kaveling tanpa sertifikat senilai Rp 732 miliar.
Pada 2017, penempatan dana Asabri di portofolio saham mencapai Rp 5,34 triliun dan reksa dana Rp 3,35 triliun. Sisa investasi mereka di deposito, yang paling likuid ketika dibutuhkan, tinggal Rp 2,02 triliun. Belum ada informasi terbaru tentang sebaran investasi Asabri karena tidak ada publikasi laporan keuangan dari perusahaan sejak 2018.