TEMPO.CO, Jakarta - Salah seorang pemegang polis yang diterbitkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Rudyantho Depassau, mengaku pernah melaporkan perkara gagal bayar perusahaan pelat merah itu kepada pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, hingga Otoritas Jasa Keuangan pada 2018. Namun, kala itu upayanya tidak membuahkan hasil.
"Tidak ada tanggapan dari pemerintah, bank, DPR, dan OJK saat itu. Kami seperti anak ayam kehilangan induk," ujar Rudyantho dalam sebuah diskusi di bilangan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu, 18 Januari 2020. Kala itu, ia bergerak dengan ratusan pemegang polis lainnya.
Rudyantho mengatakan perkumpulan pemegang polis Jiwasraya dibentuk oleh 300 orang pada Desember 2018, setelah mereka tidak kunjung mendapat kejelasan soal duit yang diinvestasikan di perseroan. Padahal, duit yang ditanamkan di perseroan sangat banyak.
"Di forum itu kisaran dananya per orang mulai Rp 50 juta sampai Rp 30 miliar, dari teman-teman Korea di Bank KEB Hana saja ada 475 orang dengan total Rp 500 miliar," ujar dia.
Setelah tak berbuah hasil, akhirnya perkumpulan itu pun, kata Rudyantho, bergerak sendiri-sendiri. Ia mengibaratkan perkumpulan itu saat ini seperti satu rumah berbeda kamar.
Rudyantho mengatakan awal mula ia sepakat membeli produk tersebut lantaran tampak menjanjikan. Sebab, produk investasi tersebut dikeluarkan oleh perusahaan pelat merah. "Saya ditawari oleh pihak bank untuk berinvestasi, bunganya 6,5 persen seperti produk deposito, tapi saat itu marketing mengatakan produk ini lebih aman karena milik pemerintah," kata dia.
Selain itu, produk investasi tersebut pun menjadi lebih menarik ketimbang deposito lantaran dibalut dengan fitur asuransi bagi para pemegang polis. "Jadi itu bentuknya memang investasi, tidak berbeda dengan deposito tetapi dibalut asuransi, namun bukan asuransi murni."
Mendapat tawaran tersebut, Rudyantho pun sepakat menempatkan duitnya yang berada di Bank QNB sebesar Rp 7 miliar untuk membeli produk tersebut. Transaksi dilakukan pada tahun 2017 dan jatuh tempo setahun setelahnya.
Sepanjang keberjalanan investasi, Rudyantho mengaku tak punya firasat jelek soal duitnya itu. "Karena saya tidak berkomunikasi langung dengan Jiwasraya, melainkan lewat Bank QNB," ujar dia. Namun, begitu masa jatuh tempo tiba pada 2018, ternyata pihak bank mengatakan bahwa perusahaan asuransi pelat merah itu mengalami masalah.
Setelah mendapat kabar itu, Rudyantho pun diajak untuk menyambangi kantor Jiwasraya. Di sana lah staf perseroan menjelaskan duduk perkara kepadanya. "Mereka minta maaf dan meminta untuk roll over karena tidak bisa bayar saat jatuh tempo," tuturnya.
Pada awal 2019, Rudyantho mengatakan Jiwasraya telah membayar polisnya sebagian, yaitu sebesar Rp 2 miliar. Sehingga tersisa Rp 5 miliar yang belum kembali. Itu pun masih uang pokok asuransinya, belum menghitung keuntungan yang dijanjikan sebesar 6,5 persen. Kini, Rudyantho hanya berharap uangnya bisa kembali utuh. Kendati, ia belum berniat menempuh jalan hukum untuk mendapatkan duitnya lagi.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menargetkan pembentukan holding PT Asuransi Jiwasraya (Persero) untuk menyelamatkan perusahaan milik negara tersebut dapat mulai dilakukan pada pertengahan Februari 2020.
"Holdingisasi kan baru ditandatangani prosesnya pada pertengahan Februari, dari situ baru bisa terlaksana. Memang kita harus ikuti langkah demi langkah dari pembentukan holding itu sendiri," kata Erick di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu, 15 Januari 2020.
Sebelumnya manajemen Jiwasraya mengakui tidak akan sanggup membayar polis nasabah yang mencapai Rp 12,4 triliun yang jatuh tempo mulai Oktober-Desember 2019 (gagal bayar). Kesulitan keuangan ini disebabkan kesalahan investasi yang dilakukan oleh manajemen lama perusahaan pelat merah itu.
"Karena memang salah satu yang kita usulkan juga bagaimana tupoksi (tugas pokok dan fungsi) menteri BUMN adalah 'memerger' atau melikuidasi tapi Bu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) nanti kan untuk menjual atau menyuntikkan," ungkap Erick.
Erick Thohir menyebutkan masalah dan solusi terkini Jiwasraya akan dijelaskan ke DPR pada 20 Januari 2020. "Nanti tanggal 20 ada pertemuan antara kami, Menteri Keuangan dan DPR, kita yang penting jelaskan secara terbuka transparan, yang pasti kita amat memprioritaskan sesuai arahan Presiden untuk penyelesaian ke nasabah," ucapnya.