TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman RI menilai ada tata kelola yang buruk di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). "Dari tata kelola jangan berkilah ke sana ke mari, memang buruk," ujar anggota Ombudsman Alamsyah Saragih dalam sebuah diskusi di bilangan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu, 18 Januari 2020.
Penilaiannya itu dilihat mulai dari struktur organisasi perusahaan. Alamsyah melihat perseroan terlambat memenuhi kewajiban menempatkan tiga orang komisaris. "Baru September terakhir dipenuhi, komisaris independen merangkap komisaris utama, agak acak-acakan."
Selain itu, Alamsyah juga menyoroti kosongnya pejabat direktur kepatuhan di perseroan. Padahal, keberadaan direktur bidang tersebut adalah kewajiban yang termaktub dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK 05/2016 tentang tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian.
Tak hanya itu, Alamsyah juga melihat ada rangkap jabatan posisi Direktur Keuangan dan Direktur Investasi di sana. "OJK seharusnya tahu, karena ini kan aturan OJK semua," tutur dia.
Dari sisi penempatan investasi, Alamsyah juga menyinggung perseroan yang banyak bermain pada instrumen berisiko tinggi. Padahal, mestinya perusahaan asuransi lebih konservatif dalam menempatkan investasinya, misalnya bisa ke saham yang masuk indeks LQ45 maupun indeks 80. "Sementara kalau kita lihat ke belakang, 2016, investasi Jiwasraya itu berantakan, brutal."
Sebelumnya, Jiwasraya diperkirakan menanggung kerugian lebih dari Rp 10 triliun lantaran berinvestasi pada saham dan reksa dana yang berkualitas rendah.
Pada investasi saham misalnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna mengatakan analisis penjualan dan pembelian saham diduga dilakukan secara pro forma dan tidak didasari data yang valid dan obyektif. Di samping, aktivitas jual beli saham dilakukan dalam waktu berdekatan diduga untuk menghindari pencatatan unrealized gross.
Selanjutnya, Agung menuturkan jual beli pun diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi secara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu yang diinginkan. Pelanggaran lainnya adalah kepemilikan atas saham tertentu melebihi batas maksimal yaitu di atas 2,5 persen.
"Saham-saham yang diperjualbelikan tersebut adalah saham-saham yang berkualitas rendah dan pada akhirnya mengalami penurunan nilai dan tidak likuid," ujar Agung di Kantor BPK, Jakarta, Rabu, 8 Januari 2020.