Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan inisiasi market maker ini juga sebagai upaya meningkatkan pengawasan dan mencegah terjadinya kasus kerugian investasi akibat saham gorengan. Seperti yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero).
Bahkan, dalam kasus Jiwasraya, dua tokoh kakap pasar modal, yaitu Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. “Dengan market maker harapannya tata kelola, integritas, dan penentuan harga bisa lebih bagus,” katanya.
Menurut Wimboh, saat ini jumlah broker atau perusahaan sekuritas di pasar modal terbilang cukup banyak, namun tidak disertai oleh kekuatan permodalan yang memadai. Alhasil, banyak transaksi yang dilakukan di luar bursa atau over the counter (OTC). “Transaksi OTC ini juga yang menjadi pemicu terjadinya kriss keuangan global negara-negara maju di 2008.”
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta OJK dan BEI untuk membersihkan pasar modal dalam negeri dari investor yang bertindak curang dengan memanipulasi harga saham. “Jangan sampai saham Rp 100 digoreng jadi Rp 1.000 per saham, digoreng-goreng jadi Rp 4.000 per saham, karena ini menyangkut kepercayaan yang dibangun,” ujarnya.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan langkah otoritas membentuk market maker sudah tepat, untuk menekan risiko saham gorengan. “Market makernya jelas sehingga kalau ada sesuatu ada yang bertanggung jawab, bedanya dengan bandar selama ini kan tidak tahu,” ucapnya.
Namun demikian, keberadaan market maker kata dia juga memiliki kekurangan. “Pasar menjadi tidak terlalu sempurna karena ada pihak ketiga yang mengatur pergerakan harga.”
Hans juga mengingatkan meski nantinya market maker diterapkan, otoritas juga harus terus melakukan pengawasan yang memadai bagi saham-saham di luar sistem tersebut. “Khususnya untuk saham yang kurang likuid dan fundamentalnya juga tidak bagus.”