TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Riset Infovesta Utama, Wawan Hendrayana menilai prospek surat utang RI pada 2020 masih potensial dan menarik minat investor asing. Prospek disebut masih bagus walaupun imbal hasil surat utang negara tenor 10 tahun telah turun ke bawah 7 persen.
Pasalnya, menurut Wawan, imbal hasil yang ditawarkan RI masih menarik dibandingkan dengan negara lain di kawasan dengan peringkat layak investasi, yakni BBB.
Sebagai gambaran, dari data asianbondsonline.adb.org per 10 Januari 2020, surat utang denominasi rupiah tenor 10 tahun menawarkan imbal hasil tertinggi, yakni sebesar 6,93 persen. Kemudian, disusul Filipina dengan imbal hasil 4,68 persen; Malaysia 3,28 persen; Vietnam 3,11 dan Cina 3,08 persen.
Adapun data indeks obligasi pemerintah tiga negara di Asia (A3GBI) yang tercatat PT Penilai Harga Efek Indonesia menunjukkan adanya tawaran return sebesar 0,87 persen yang ditopang oleh obligasi denominasi rupiah dengan return tertinggi yakni 1,32 persen. Kemudian, diikuti obligasi denominasi ringgit sebesar 0,67 persen dan obligasi denominasi baht sebesar 0,61 persen.
“Tetap jauh lebih tinggi. (Imbal hasil obligasi denominasi rupiah) tetap paling tinggi dan udah masuk ke investment grade,” ujar Wawan, Senin, 13 Januari 2020. Ia juga menyebut daya tarik RI berasal dari beberapa faktor.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang masih tinggi, yakni di kisaran 5 persen. Kedua, penurunan suku bunga acuan masih terbuka pada tahun dengan bobot total hingga 50 basis poin melalui dua kali pemangkasan.
Ketiga, kondisi politik relatif stabil. Keempat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cenderung stabil.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan pada 9 Januari 2020 sebelumnya mencatat kepemilikan asing dalam instrumen surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 1.071,9 triliun atau 38,8 persen dari total outstanding yakni Rp 2.762,74 triliun. Secara tahun berjalan, dana asing yang masuk ke SBN sebesar Rp 10,04 triliun dari Rp 1.061,86 triliun pada akhir Desember 2019.
Wawan memperkirakan obligasi denominasi rupiah tetap jadi yang dominan. Pertumbuhan ekonomi baik, stabilitas politik baik. "Secara politik, (obligasi denominasi rupiah) paling stabil, ada potensi suku bunga turun dua kali, rupiah masih lebih baik dibandingkan mata uang negara lain (dibandingkan ringgit dan baht),” katanya.
Daya tarik itu yang disebut-sebut menjadi modal yang solid untuk menunjang minat investor asing terhadap instrumen investasi lain seperti surat utang korporasi. Meski begitu, ada juga investor asing yang masih mengandalkan SBN karena likuiditasnya yang tinggi.
Namun demikian, menurut Wawan, porsi kepemilikan investor asing pada instrumen surat utang korporasi bisa bertambah secara bertahap. Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, pada Desember 2019, kepemilikan asing dalam instrumen surat utang korporasi sebesar 7,28 persen. Sisanya, digenggam oleh investor lokal dengan porsi 92,72 persen.
BISNIS