Tempo.Co, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan atau OJK bakal memperketat pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Non Bank. Salah satunya terkait penempatan investasi dari lembaga keuangan. Hal ini berkaitan dengan kesalahan investasi yang diduga dilakukan PT Asuransi Jiwasraya serta PT Asabri, dan menyebabkan kerugian.
"Ketentuan-ketentuan itu harus kita lihat kembali, apa ada yang perlu diperketat atau diperjelas," ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin, 13 Januari 2020.
Di samping itu, Wimboh juga mengatakan akan banyak aturan baru yang bakal ditelurkan lembaganya pada tahun ini di segala sektor tak hanya industri keuangan non bank. Penguatan itu juga sudah dilakukan sejak 2018. Dalam hal pengawasan, ia menegaskan lembaganya akan melakukan pengawasan berbasis risiko.
"Ini bukan cuma sekadar jargon, tapi ada detail bagaimana pengawasan itu bagaimana reportingnya, item-item apa yang harus dilaporkan ke OJK akan diubah," tutur Wimboh. Nantinya pelaporan tidak hanya melingkupi neraca, namun juga instrumennya.
Menurut Wimboh, paling tidak rincian instrumen investasi itu harus dilaporkan kepada lembaganya setiap bulan. Dengan demikian, lembaganya bisa ikut memantau penempatan investasi tersebut.
Belakangan, Asuransi Jiwasraya dan Asabri disebut mesti menanggung kerugian lantaran berinvestasi di saham dan reksa dana berkualitas rendah. "Jadi nanti semuanya (harus dilaporkan), jadi ya posisi eksposurnya di investasi saham dan reksa dana harus dilaporkan secara detail ke otoritas," tutur Wimboh.
PT Asuransi Jiwasraya sebelumnya diperkirakan menanggung kerugian lebih dari Rp 10 triliun lantaran berinvestasi pada saham dan reksa dana yang berkualitas rendah.
Pada investasi saham misalnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna mengatakan analisis penjualan dan pembelian saham diduga dilakukan secara pro forma dan tidak didasari data yang valid dan obyektif. Di samping, aktivitas jual beli saham dilakukan dalam waktu berdekatan diduga untuk menghindari pencatatan unrealized gross.
Selanjutnya, pada investasi di reksa dana, Jiwasraya diperkirakan mengalami kerugian sekitar Rp 6,4 triliun akibat penurunan nilai saham pada reksa dana tersebut. Pada 30 Juni 2018, Jiwasraya tercatat memiliki sekitar 28 produk reksa dana, dan 20 produk reksa dana kepemilikan di atas 90 persen. Agung menyebut reksadana tersebut sebagian besar dengan underlying saham berkualitas rendah dan tidak likuid.