TEMPO.CO, Jakarta - Hary Prasetyo Direktur Keuangan dan Investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) 2008-2018 menampik kabar bahwa ia kabur ke London. Pria 50 tahun ini angkat suara tentang krisis keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang diduga akibat praktik lancung dalam pengelolaan dana investasi nasabah saat dia menjabat direktur keuangan dan investasi pada 2008-2018. Kasus ini pula yang membuatnya dicegah bepergian ke luar negeri.
Kepada Retno Sulistyowati, Khairul Anam, Putri Adityowati, dan Ghoida Rahmah dari Tempo, Hary menegaskan bahwa kondisi keuangan perusahaan sudah buruk ketika dia masuk. “Ada peninggalan shortfall Rp 5,7 triliun,” ujarnya di Jakarta, Kamis, 9 Januari lalu.
Anda dituding sebagai pihak yang paling bersalah dalam kasus Jiwasraya…
Ya, semula saya memilih diam, dan akan menjelaskannya kepada penegak hukum. Tapi serangan yang bertubi-tubi, tanpa ada satu pun yang membela, memaksa saya berbicara, membuka fakta.
Fakta apa?
Ada tiga kejadian penting. Pertama, kondisi keuangan yang memang sudah minus Rp 5,7 triliun di awal saya masuk perusahaan pada 2008. Untuk memenuhi modal minimum dibanding risiko yang ditanggung (risk-based capital/RBC) 120 persen, harus ada injeksi Rp 6,7 triliun. Lalu ada krisis ekonomi 2008 yang menyebabkan seluruh aset portofolio kami turun menjadi minus 60 persen.
Ketiga, saat melakukan revaluasi aset pada 2012, porsi investasi berubah menjadi 30 persen properti 70 persen produk market security, seperti deposito, saham, dan reksa dana. Masalahnya, porsi 30 persen itu hanya memberikan imbal balik 0,6 persen. Padahal yang diperlukan double digit.
Apa yang dilakukan manajemen dengan kondisi tersebut?
Saya harus mencari return berapa supaya RBC tetap terjaga. Jadi memang harus saya akui, mau enggak mau harus masuk ke portofolio lapis kedua (second liner) yang berisiko tinggi. Betul, itu yang diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan. Demikian adanya. Saya butuh ganjel tadi. Mau diganjel pakai apa? Itu 2013, belum jualan produk Saving Plan lagi. Ketika itu, perusahaan untung dari hasil revaluasi aset.
Tapi keuntungannya dianggap semu, tidak seperti sebenarnya…
Okay, semu. Malah ada yang bilang itu indikasi laporan keuangan direkayasa. Sampai akhirnya kami jualan lagi. Itu ganjel karena memang enggak ada yang lain.
Mengapa dana justru ditempatkan di saham berkinerja buruk?
Pilihannya, dengan duit yang terbatas, adalah membeli saham papan atas yang butuh dana banyak tapi tidak memberikan return sebesar target atau membeli saham lapis kedua, yang berisiko, tapi harga tidak semahal saham blue chip, dan kemungkinan bisa memenuhi target imbal hasil. Intinya, perusahaan perlu imbal hasil (yield) tertentu sesuai dengan target.