TEMPO.CO. Jakarta - Mantan anggota Komisi VII DPR, Kurtubi, menilai kandungan CO2 di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Natuna atau East Natuna sangat berharga. Pasalnya, kandungan CO2 di wilayah tersebut disebut dapat dimanfaatkan untuk mendorong aktivitas produksi minyak.
"CO2 itu barang berharga untuk bahan baku petrokimia. Sekarang (CO2) punya nilai. Ini yang kurang dari pemerintah untuk mendorong mengembangkan secara de facto," katanya sela-sela diskusi bertajuk 'Pantang Keok Hadapi Tiongkok' di Jakarta Pusat, Ahad, 12 Januari 2020.
Kurtubi mengatakan, pemerintah semestinya dapat memanfaatkan CO2 di wilayah Natuna untuk diinjeksikan ke kilang produksi minyak terdekat. Misalnya Blok Rokan di Riau yang dinilai sudah menurun produksinya karena sudah tua.
Seumpama disuntikkan ke Blok Rokan tersebut, Kurtubi yakin kandungan CO2 Natuna akan mendukung kinerja kilang yang saat ini tengah menerapkan teknologi lanjutan alias enhanced oil recovery (EOR) untuk mendorong produksi. Sehingga, target pemerintah mematok produksi 100-200 thousand barrels of oil per day (MBOPD) dengan EOR pada 2023 dapat tercapai.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kandungan CO2 di East Natuna mencapai 72 persen. Adapun kandungan gas alam dan minyak bumi di wilayah itu tercatat terbesar ketimbang kawasan lain.
Kementerian mencatat, kandungan gas bumi di East Natuna mencapai sekitar 46 trillion cubic feet atau TCF. Angka ini jauh lebih besar ketimbang cadangan di Maluku dan Selat Makassar.
Di Blok Masela di Maluku, cadangan gas bumi hanya tercatat 16 TCF. Sedangkan cadangan gas di Indonesia Deepwater Development atau IDD yang berlokasi di Selat Makassar hanya 2,6 TCF.
Sumber daya alam yang potensial di Natuna disebut-sebut tengah diincar Cina. Cina juga mengklaim wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dengan menempatkan kapal-kapal coast guard yang mendampingi kapal pencuri ikan mengambil SDA Indonesia di Natuna Utara. Klaim itu mengacu pada Nine Dash Line yang tidak diakui dalam hukum internasional.