TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Anggota Komisi VII DPR, Kurtubi, mengatakan Cina bukan hanya mengincar ikan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di Natuna, Kepulauan Riau. Namun, Negeri Tirai Babu itu juga membidik potensi sumber daya alam yang lebih besar, yakni gas bumi.
"Kita punya gas bumi di Natuna yang bila diolah nilainya lebih dari 200 TCF (trilion cubic feet atau TCF," ujar Kurtubi di sela-sela diskusi bertajuk 'Pantang Keok Hadapi Tiongkok' di Jakarta Pusat, Ahad, 12 Januari 2020.
Kurtubi mengatakan potensi gas bumi di Natuna bahkan paling besar ketimbang di blok migas lainnya. Ketimbang Blok Masela, kata dia, Natuna menyimpan cadangan empat kali lipat lebih banyak.
Adapun pernyataan Kurtubi ini sesuai dengan data yang dihimpun Tempo dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM. Berdasarkan catatan kementerian, potensi sumber daya gas di East Natuna sekitar 46 TCF.
Sementara itu, cadangan di Blok Masela, Maluku, hanya 16 TCF. Sedangkan cadangan gas di Indonesia Deepwater Development atau IDD yang berlokasi di Selat Makassar hanya 2,6 TCF.
Kurtubi menyarankan pemerintah mengamankan cadangan gas bumi itu dengan membangun kilang besar di sana. Pemerintah, kata dia, bisa menggandeng investor dari negara lain seperti Jepang atau Amerika Serikat.
Namun, untuk mencapai cara ini, Kurtubi mengatakan pemerintah mesti mengubah regulasi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan menggantinya sementara dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undnag. Ia menilai beleid tersebut cacat dan tidak memberikan kepastian hukum kepada investor.
Pemerintah melalui PT Pertamina (Perserol sebelumnya pernah menggandeng PT ExxonMobil, perusahaan minyak asal Amerika Serikat, dan PT EPP Thailand, perusahaan eksplorasi dan produksi minyak bumi nasional yang berbasis di Negeri Gajah Putih untuk menggarap gas bumi di Natuna. Tepatnya pada 2016 awal, ketiga perusahaan itu melakukan kajian.
Kajian itu bermaksud mengidentifikasi teknologi dan aspek komersial agar proyek bisa dikembangkan sesuai dengan skala ekonomi. Namun, dari kajian itu, menurut Exxon, proyek ini tidak layak investasi. Exxon lalu hengkang setelah mempertimbangkan aspek keekonomian.