TEMPO.CO, Jakarta -Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai panasnya hubungan antara Iran dan Amerika Serikat tidak berdampak terhadap fundamental makro ekonomi Indonesia. "Kami sebut ini bagian dari risiko geopolitik global, risiko global kami tidak melihat dampak secara signifikan terhadap makro ekonomi maupun juga terhadap stabilitas eksternal dan juga terhadap nilai tukar rupiah," ujarnya di Gedung BI, Jakarta, Jumat, 10 Januari 2020.
Perry menjelaskan, bahwa ketegangan yang terjadi juga tidak mempengaruhi nilai tukar rupiah. Hal itu dapat dilihat dari rupiah yang bergerak terus menguat, mengikuti mekanisme pasar. "Terbukti dari apa? Premi risiko dalam bentuk CDS (Credit Default Swap) itu yang juga terus menurun," katanya.
Bila ada tekanan perekonomian Indonesia, kata Perry, hal itu hanya memberikan pengaruh dalam jangka pendek. "Jangka pendek risiko geopolitik pengaruh, tapi secara fundamental kami pandang tidak pengaruh besar," katanya.
Oleh karena itu, Perry menuturkan, pihaknya akan terus memantau perkembangan global. Salah satunya, yang sedang ditunggu-tunggu pelaku pasar adalah negosiasi perdagangan fase pertama antara Amerika Serikat dan Cina dalam waktu dekat akan memberikan dampak positif bagi perekonomian global.
"Alhamdulillah saya kira perkembangan yang positif adalah hubungan dagang antara Amerika dan Tiongkok, yang dalam waktu dekat ada penandatanganan kesepakatan perdagangan itu memberikan persepsi yang positif," tuturnya.
Selain memberikan sinyal positif bagi perekonomian global, Perry memperkirakan, hubungan dagang Amerika dan Cina yang membaik akan merangsang pertumbuhan ekonomi global semakin membaik pada tahun 2020. Lalu hal tersebut juga akan meningkatkan peluang ekspor, serta aliran modal asing yang masuk ke Indonesia.
"Itu memberikan persepsi positif, bahwa ekonomi dunia tahun ini tumbuh sekitar 3-3,1 persen meningkat dari 2,9 persen," katanya.