Tempo.Co, Jakarta - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna mengatakan permasalahan di tubuh perusahaan PT Asuransi Jiwasraya terjadi sejak lama. Bahkan Agung menyebut meski perseroan sejak 2006 masih membukukan laba, namun keuntungan tersebut diduga laba semu.
"Sebagai akibat dari rekayasa akuntansi atau window dressing, di mana perusahaan sebenarnya sudah alami kerugian," ujar Agung di Kantor Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, Rabu, 8 Januari 2020. Kesimpulan itu adalah salah satu resume hasil pemeriksaan investigasi pendahuluan pada 2018.
Dalam laporan itu pun disebutkan bahwa pada 2017 Jiwasraya juga mengalami laba sebesar Rp 360,3 miliar namun memperoleh opini adverse atau tidak wajar. Opini itu diberikan lantaran adanya kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun. "Jika pencadangannya dilakukan sesuai ketentuan seharusnya, perusahaan menderita rugi," tutur Agung.
Berikutnya, pada 2018, Jiwasraya juga membukukan kerugian unaudited Rp 15,3 triliun dan hingga September 2019 diperkirakan rugi Rp 13,7 truliun. Pada November 2019, perseroan diperkirakan mengalami negative equity sebesar Rp 27,7 triliun.
Agung menuturkan kerugian terjadi terutama lantaran Jiwasraya menjual produk saving plan dengan cost of fund sangat tinggi, bahkan di atas bunga deposito dan obligasi. tindakan itu disebut dilakukan secara masif sejak 2015.
"Dana dari saving plan tersebut diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana saham yang berkualitas rendah sehingga mengakibatkan adanya negative spread. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar," tuturnya.
BPK menargetkan penghitungan kerugian negara akibat kasus PT Asuransi Jiwasraya kelar paling cepat dua bulan ke depan. "Ini butuh waktu, tapi kami upayakan dapat selesai dalam waktu dua bulan," ujar Agung.
Penghitungan kerugian, menurut dia, dibutuhkan untuk kepentingan penuntutan di pengadilan nantinya. Ia memastikan lembaganya akan mendukung Kejaksaan Agung untuk melakukan penegakkan hukum pada kasus perusahaan asuransi pelat merah tersebut.
"BPK menyimpulkan terjadi penyimpangan atau perbuatan melawan hukum dalam pengumpulan dana dari produk Saving Plan maupun penempatan investasi dalam bentuk saham dan reksadana yang mengakibatkan adanya kerugian negara," ujar Agung. Namun, Ia menuturkan nilai kerugian negara yang nyata dan pasti baru dapat ditentukan setelah BPK melakukan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara.