TEMPO.CO, Jakarta - Founder Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengungkapkan, realisasi penerima pajak hingga akhir 2019 sebesar Rp 1.319 triliun atau 83,6 persen dari target. Berdasarkan realisasi itu, artinya ada shortfall atau selisih dengan target yang mencapai Rp 257 triliun.
"Secara nominal iya (terburuk dalam 5 tahun), tapi secara persentase tidak. Sebenarnya pada tahun 2016 lebih buruk," kata Yustinus di gedung Kementerian Koperasi dan UMKM, Jakarta, Senin, 6 Januari 2020.
Dengan realisasi 83,6 persen itu, kata Yustinus, penerimaan pajak butuh pertumbuhan 23 persen untuk tahun 2020 ini. Nilai tersebut menurutnya berat dicapai. "Agak berat ya, tahun lalu aja cuman 1 persen, sekarang butuh 23 persen, berarti kan double 20 kali, berat," ujarnya.
Yustinus melihat penerimaan pajak yang seret terjadi karena harga komoditas dan PPh Migas turun. "Lalu PPh Pertambangan juga turun, yang kedua impor turun, maka pajak dalam rangka impor turun semua. Impor turun output dalam negeri pasti turun. Itu yang menekan PPN dalam negeri," katanya.
Dia memperkirakan, komoditas akan menjadi tantangan tahun depan, di mana harga tetap melandai. Karena itu, sebaiknya perekonomian Indonesia tidak didominasi komoditas.
Yustinus juga menilai pemerintah harus lebih realistis dengan melihat kondisi ekonomi yang kemungkinan masih akan stagnan di 2020. Di mana kondisi global juga masih menekan perekonomian Indonesia.
"Sudah harus counter cyclical, bikin kebijakan ekstensifikasi. Kita nambah jumlah wajib pajak, tapi yang nambah cuma jumlah karyawan. Harusnya kan orang pribadi pengusaha, lalu badan usaha," kata dia.