TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo menyinggung praktik tidak benar soal goreng-menggoreng saham yang dampaknya merugikan bagi masyarakat ketika membuka perdagangan di Bursa Efek Indonesia pada Kamis, 2 Januari 2020. Jokowi meminta investor dan pelaku pasar modal menghentikan praktik goreng-menggoreng saham.
Menanggapi hal ini, Direktur PT Anugerah Mega Investama, Hans Kwee menilai pernyataan Presiden Jokowi tidak terlepas dari kasus yang ramai diperbincangkan di masyarakat. Salah satunya, yaitu kasus gagal bayar Jiwasraya karena perseroan itu menginvestasikan modalnya pada saham-saham yang disebut otoritas sebagai saham gorengan.
"Jadi karena ada sebab, Pak Jokowi menyampaikan itu," ujar Hans, ketika dihubungi lewat telepon kepada Bisnis, Kamis 2 Januari 2020.
Lebih lanjut, Hans, menjelaskan jika mengacu pada istilah saham gorengan ini sebenarnya memang marak dan ramai dibicarakan setelah ada beebrapa kejadian. "Ada kasus reksa dana dibubarkan. Kemudian, ada 35 reksa dana yang kurang lebih yang NAB-nya [Nilai AKtiva Bersih atau dana keleloaan], turun lebih dari 50 persen, kemudian ada kasus Jiwasraya, sehingga, ditambah lagi beberapa reksa dana mengalami kesulitan dalam membayar nasabah," analis ini menjelaskan.
Hans mengatakan istilah ini mendadak jadi sangat populer, setelah berbagai kejadian tersebut. Dia menjelaskan sebenarnya yang terjadi sebenarnya adalah saham itu diindikasikan ada gerakan yaitu kenaikan harga yang di luar fundamental saham tersebut.
Oleh karena itu, katanya, sebagai investor perlu lebih pintar dan bijak dalam menghadapi fenomena saham yang digoreng ini. Menurutnya, terkadang investor bukan tertipu karena tidak paham. Namun lebih cenderung serakah atau berpedoman high risk high return.
"Jadi kalau kita mau bilang ini saham gorengan, kita harus buktikan. Ini kan proses invetigasi yang sulit. Tapi otoritas sudah berdiri memagari dengan aturan yang ada, tapi investor harus kita dorong lebih pintar," ujar Hans.