TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengatakan produk investasi JS Saving Plan yang ditawarkan perseroannya sejak 2013 berisiko. Alasannya skema yang ditawarkan mirip dengan skema Ponzi.
Padahal, menurut Hexana, dulu tidak berpikir untuk membuat skema seperti itu, sehingga hal tersebut membuat asuransi pelat merah berakibat gagal bayar polis. "Mungkin dari awal tidak berpikir untuk (buat skema) Ponzi, tapi ujung-ujungnya Ponzi," ujarnya saat ditemui di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat, 27 Desember 2019.
Hexana menjelaskan, bahwa produk yang ditawarkan melalui bancassurance tersebut menjanjikan pengembalian atau guaranteed return yang sangat besar, sementara likuiditas perusahaan tak cukup untuk membayar polis tersebut ketika jatuh tempo.
Adapun, Ponzi adalah modus investasi palsu yang membayarkan keuntungan kepada investor dari uang mereka sendiri atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya, bukan dari keuntungan yang diperoleh oleh individu atau organisasi yang menjalankan operasi ini.
Hexana menjelaskan, imbal hasil produk JS Saving Plan Jiwasraya mencapai 9-13 persen selama kurun waktu 2013 hingga 2018. Sementara itu, tingkat suku bunga deposito sepanjang tahun 2018 hanya sebesar 5,2-7 persen, suku bunga obligasi hanya 8-9,5 persen dan pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama tahun 2018 minus 2,3 persen.
Oleh karena itu, ujar Hexana, mau tak mau penjualan produk tersebut harus dihentikan karena tiap uang yang masuk dari nasabah JS Saving Plan akan menimbulkan kerugian perusahaan semakin dalam. Ia menuturkan, kerugian perseroannya telah menyentuh angka Rp13,74 triliun per September 2019. "Jadi dihentikan ada dua alasan. Otoritas bilang kita harus setop, ya stop. Kedua, karena tidak memungkinkan pengembaliannya," katanya.
Produk JS Saving Plan dipasarkan melalui kanal bancassurance, di mana terdapat delapan bank pemasar produk tersebut, yakni BRI, BTN, KEB Hana Bank Indonesia, DBS Indonesia, ANZ Indonesia, QNB Indonesia, Standard Chartered Bank, dan Bank Victoria International.
EKO WAHYUDI | BISNIS