TEMPO.CO, Jakarta - Warganet menggalang petisi online menolak perubahan ambang batas nilai barang impor kiriman bebas bea masuk melalui change.org. Petisi yang digalang seorang bernama Irwan Ghuntoro itu dilayangkan pada tanggal 24 Desember 2019 dan ditujukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi.
Sebelumnya Kementerian Keuangan mengubah ambang batas tersebut dari US$ 75 per kiriman menjadi US$ 3 per kiriman. Hingga siang hari ini, 27 Desember 2019, petisi tersebut telah ditandatangani 715 warganet.
Di akhir petisi, Irwan meminta pemerintah mengembalikan kembali ambang batas tersebut seperti sediakala. "Kembalikan nilai wajib pajak 75 USD atau lebih dari 75 USD jika bisa," tulis dia.
Dalam argumennya, ia mengatakan bahwa penjual, importir kecil, supplier dropshipping online shop dan para perajin yang membutuhkan bahan baku dari luar negeri merasa sangat terjerat dengan adanya ambang batas yang dinilai sangat rendah itu. Irwan mengatakan kebijakan tersebut bisa berdampak buruk bagi masyarakat, salah satunya untuk kreativitas anak bangsa.
"Pada tingkat kreatifitas anak bangsa, dimana dilihat besar pertumbuhan para generasi baru yang lebih pintar dan kreatif dengan dukungan bahan baku yang mudah di dapat di negara lain adalah pilihan terbaik untuk memupuk mereka lebih kreatif," kata Irwan.
Dampak buruk lainnya adalah soal pengangguran. Irwan mengatakan banyaknya penjual online shop, serta dropshiper yang 80 persen dagangannya berasal dari impor.
Sehingga, kalau impor dipersulit, mereka bisa tutup dan menganggur. "Dengan bertambah nya pengangguran maka akan besar kemungkinan nilai kriminalitas naik pesat," tutur Irwan. Karena itu, ia meminta pemerintah mengkaji lagi kebijakan tersebut.
Kementerian Keuangan sebelumnya merevisi ambang batas nilai barang kiriman yang bebas bea masuk dari sebelumnya US$ 75 per kiriman menjadi US$ 3 per kiriman. Ia mengatakan kebijakan itu diambil untuk menjaga para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah.
Penyesuaian de minimis value sebesar US$ 3 diambil, kata Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi, dengan mempertimbangkan nilai impor yang sering di-declare dalam pemberitahuan impor barang kiriman alias Consigment Note atau CN adalah US$ 3,8 per CN.
Selain itu, ambang batas untuk pengenaan pajak impor juga diubah dari US$ 75 mejadi tanpa ambang batas. Artinya, pajak sudah dikenakan tanpa kenal de minimis. "Itu sesuai prinsip pajak, de minimis hanya dikenal dalam UU Kepabeanan," kata Heru.
Kendati demikian, Heru mengatakan pemerintah juga membuat rasionalisasi tarif dari tarif semula yang total di kisaran 27,5 persen hingga 37,5 persen, dengan rincian Bea Masuk 7,5 persen, Pajak Pertambahan Nilai 10 persen, Pajak Penghasilan 10 persen dengan NPWP (nomor pokok wajib pajak) atau PPh 20 persen tanpa NPWP. Nominal itu diubah menjadi sekitar 17,5 persen dengan rincian Bea Masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, serta PPh nol persen.
Selanjutnya, pemerintah secara khusus membedakan tarif atas produk tas, sepatu dan garmen. Sehingga, khusus untuk tiga komoditi tersebut, tetap diberikan de minimis untuk bea masuk sampai dengan US$ 3 dan selebihnya diberikan tarif normal (MFN) yaitu tarif Bea Masuk untuk tas 15 persen - 20 persen, sepatu 25 persen - 30 persen, produk tekstil 15 persen - 25 persen. Di samping itu, barang-barang tersebut akan dikenai PPN 10 persen, dan PPh 7,5 persen - 10 persen.