Dalam pertemuan itu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa Omnibus Law bidang perpajakan bakal terdiri dari 28 pasal. Namun, ke-28 pasal tersebut mengamandemen sebanyak 7 Undang-Undang (UU) yang telah ada sebelumnya. Semua pasal tersebut juga terdiri dari 6 klaster isu perpajakan.
Adapun ke-7 UU yang disederhanakan yakni, UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Selain itu, ada pula UU Kepabeanan, UU Pajak dan Retribusi daerah dan UU Pemerintah Daerah.
Salah satu klaster dalam beleid tersebut mengenai perpajakan ekonomi digital, khususnya terkait transaksi elektronik yang dinilai sama dengan pajak biasa. Hal ini berlaku untuk platform digital, lewat PPN. Pemungutan itu juga bakal diberlakukan bagi platform yang tidak memiliki kantor fisik atau berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT).
Menurut Sri Mulyani, klaster perpajakan digital merupakan upaya pemerintah untuk mengenakan pajak terhadap perusahaan digital raksasa yang berlokasi di luar negeri. Misalnya, seperti Netflix, Amazon, Google, hingga Facebook. "Maka mereka tetap bisa dibebankan pajak dengan menyampaikan pengenaan bagi subjek pajak luar negeri," katanya.
CAESAR AKBAR | ANTARA