TEMPO.CO, Jakarta - Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet mencatat pertumbuhan pengguna Internet mencapai sekitar 171,17 juta atau 64,8 persen dari total populasi Indonesia sepanjang 2019. Namun, kontrol pemerintah terhadap internet malah semakin ketat.
"Banyak tindakan memblokir dan menyensor yang terjadi, terutama terhadap lesbian, gay, biseksual, waria, dan interseks (LGBTI) dan kelompok aktivis Papua di situs web dan media sosial," ujar Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 21 Desember 2019.
Dalam tiga peristiwa yang terjadi pada 2019, ujar Damar, pemadaman internet digunakan sebagai cara baru bagi pemerintah untuk mengendalikan informasi, membatasi akses informasi dan menyensor internet.
"Hak warga atas akses informasi dilanggar oleh praktik internet shutdown (pemadaman internet) yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia," ujar Damar.
Damar menilai kriminalisasi semakin memburuk dengan menggunakan UU ITE sejak 2008. Meskipun UU ITE itu telah direvisi pada tahun 2016, ujar dia, jumlah orang sedang diselidiki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Kepolisian Nasional meningkat tahun demi tahun.
Sejak 2017-2019, total 6.895 orang sudah diselidiki oleh polisi, dengan rincian 38 persen atau 2.623 orang terkait dengan penghinaan terhadap tokoh/penguasa/ lembaga publik. 20 persen atau 1.397 terkait dengan penyebaran hoax, 12 persen atau 840 orang terkait dengan pidato kebencian, sisanya atas tindakan lain.
Beberapa penyelidikan kepolisian berlanjut ke pengadilan. Menurut database, Mahkamah Agung dari 2008-2018, ada 525 kasus hukum terkait UU ITE. Jumlah kasus pada 2018 dua kali lipat dari tahun sebelumnya. 24 persen terkait dengan kasus pencemaran nama baik, 22 persen terkait dengan kasus penistaan lewat Internet.
DEWI NURITA