TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Mirah Midadan Fahmid, mengatakan program Kartu Prakerja Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak terlampau efektif menyerap tenaga kerja. Ia memprediksi kartu tersebut hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 30 persen dari total pengangguran di seluruh Indonesia.
“Pengangguran sekarang ada 7 juta orang. Sedangkan pemerintah hanya menargetkan peserta kartu prakerja 2 juta. Berarti kita hanya cover 30 persen,” ujar Mirah saat menyampaikan paparannya dalam diskusi bertajuk 'Catatan Akhir Tahun: Mewaspadai Resesi Ekonomi Global’ di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat, 20 Desember 2019.
Kartu Prakerja adalah produk janji kampanye yang disampaikan Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin semasa debat pemilihan presiden April lalu. Kartu ini merupakan satu dari tiga kartu sakti yang akan diberikan pemerintah kepada masyarakat.
Pemerintah rencananya merealisasikan janji Kartu Prakerja pada 2020. Kementerian Keuangan menganggarkan dana sekitar Rp 10 triliun untuk terbitnya kartu ini.
Adapun Kartu Prakerja akan menyasar pada kelompok pencari kerja usia 18 tahun ke atas yang tergolong pekerja aktif atau usia produktif dan korban pemutusan hubungan kerja alias PHK. Kartu ini nantinya bakal berisi bantuan pembiayaan pelatihan vokasi untuk masyarakat guna meningkatkan keterampilan dan daya saingnya.
Selain Kartu Prakerja, Mirah menjelaskan sejatinya pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan juga memiliki Sistem Informasi Ketenagakerjaan atau Sisnaker untuk menyerap tenaga kerja. Namun, program ini pun dinilai tak terlampau membantu menyerap banyak angka pengangguran. Sebab, saat ini, Sisnaker hanya menyerap 180 ribu tenaga kerja baru atau setara dengan 2,57 persen pengangguran.
Untuk mengentaskan pengangguran, Mirah menjelaskan sebenarnya pemerintah memiliki pelbagai cara. Salah satunya mengirim jasa tenaga kerja Indonesia atau TKI ke luar negeri. “Kalau sekarang ini kita menyuplai TKI. Ke depan harus ada permintaan yang datang dari luar negeri untuk dapat tenaga kerja kita,” ujarnya.
Ia meminta pemerintah menggenjot pertumbuhan TKI pada tahun mendatang supaya tenaga kerja Indonesia dapat optimal terserap. Adapun berdasarkan data yang ia paparkan, kini jumlah TKI melorot sekitar 7 persen ketimbang tahun lalu.
Guna meningkatkan minat luar negeri terhadap tenaga kerja Indonesia, ia menyarankan pemerintah menyesuaikan kualitas sumber daya manusia atau SDM dengan kebutuhan asing. "Ini kita harus sisir dulu di luar negeri butuhnya jasa apa,” tuturnya.
Kualitas SDM itu dapat dibentuk dimulai dari level sekolah menengah kejuruan atau SMK. Karena itu, ia menyarankan pemerintah segera memperbaiki kurikulum SMK agar lulusannya siap menghadapi persaingan secara global.
Di tempat yang sama, peneliti senior Indef Aviliani mengatakan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri merupakan investasi bagi negara, utamanya untuk menggenjot devisa. “Kalau kualitas tenaga kerja kita bagus, banyak dikirim ke luar negeri, devisa akan tinggi,” ujarnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA