TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga baru saja bertemu dengan Komisi Eropa, lembaga eksekutif negara-negara Uni Eropa, di Brussels, Belgia. Pertemuan dilakukan dalam rangka perundingan ke-10 Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement yang masih terus berlangsung.
Dalam perundingan tersebut, Jerry kembali menekankan sikap tegas Indonesia terkait diskriminasi produk kelapa sawit oleh Uni Eropa. “Agak sedikit ironis ketika mereka (Uni Eropa) blok kelapa sawit kita,” kata dia dalam Tempo Economic Briefing di Westin Hotel, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019.
Jerry mengatakan, negara-negara Uni Eropa selama ini dikenal gencar mendorong keterbukaan dalam arus perdagangan global. Tapi sekarang, mereka justru menghambat kelapa sawit Indonesia masuk ke sana. “Kalau konsisten dengan perdagangan internasional, produk apapun harusnya dibuka secara lebar dan luas,” kata dia.
Sejak Juni 2018, Komisi Eropa telah menyepakati inisiatif keberlanjutan lingkungan dalam Renewable Energy Directive atau RED II pada Juni 2018. Lewat inisiatif ini, Eropa melarang penggunaan bahan bakar yang beresiko tinggi karena ditanam di area bekas tanaman pangan. Kelapa sawit pun dinilai masuk dalam kategori ini.
Jerry memahami, negara manapun memiliki cara masing-masing untuk melindungi produsen dan konsumen dalam negeri mereka. Tapi yang diinginkan Indonesia adalah sikap yang adil. “Bukan dengan proteksionisme,” kata dia.
Sebab pada kenyataannya, kata Jerry, konsumen dan produsen makanan yang banyak menggunakan kelapa sawit justru berasal dari Eropa. Sehingga, tak seharusnya Uni Eropa menerapkan larangan tersebut dengan alasan keberlanjutan.
Setelah ditelusuri pun, kata Jerry, ternyata ada lobi dari beberapa politisi di Parlemen Eropa dibalik diskriminasi sawit Indonesia ini. Tapi Jerry memperingatkan, bahwa Eropa hanyalah sebagian dari lingkup pasar kelapa sawit yang lebih besar. “Negara lain juga sudah menanti (menerima sawit Indonesia),” kata dia.
Meski demikian, segala tensi yang terjadi tetap dibahas dalam perundingan IEU-CEPA ini. Presiden Joko Widodo atau Jokowi, kata Jerry, meminta perundingan bisa rampung dan membuahkan hasil pada pertengahan 2020.
Meski telah berulang kali mendengar pernyataan dari pejabat Indonesia, Komisi Eropa tetap pada keputusannya. Ditemui pada Jumat, 8 November 2019, Konselor Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Michael Bucki, mempertegas sikap Uni Eropa.
Bucki menilai bahwa minyak kelapa sawit memiliki risiko yang tinggi terhadap lingkungan. “Minyak kelapa sawit beresiko tinggi, tidak bisa dibantah,” kata Bucki saat ditemui di Kantor Uni Eropa di Menara Astra, Jakarta.
Lebih jauh Bucki mengakui pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah perbaikan dalam industri kelapa sawit. Indonesia dinilai juga sebenarnya memiliki niat yang baik untuk memperbaiki tata kelola sawit ini. Namun, Uni Eropa menilai masih beberapa hal yang belum diimplementasikan penuh, seperti penanaman kebun kelapa sawit yang legal dan terdaftar “Saya kita belum diimplementasikan penuh."
Bucki menegaskan, RED II bukanlah diluncurkan untuk minyak kelapa sawit semata, tapi untuk semua bahan bakar biofuel yang beresiko tinggi atau masuk dalam kategori ILUC risk.
Ia juga membantah pernyataan sejumlah pejabat pemerintah Indonesia yang selama ini menyebut RED II hadir karena Uni Eropa tak ingin produk mereka seperti sunflower oil dan rapeseed dikalahkan minyak kelapa sawit. “Saya tidak tahu, mengapa mereka (pejabat Indonesia) mengatakan itu,” kata dia.
Kini, bersamaan dengan perundingan IEU-CEPA, Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation ke Uni Eropa pada Senin, 9 Desember 2019. Artinya, Indonesia sudah siap bertarung melawan RED II Uni Eropa di World Trade Organization (WTO).