TEMPO.CO, Jakarta - Pemain industri fintech peer-to-peer lending alias pinjaman online diprediksi semakin terseleksi. Kondisi ini berkaca dari kondisi yang terjadi di Cina saat ini.
"Di Cina sekitar 5 tahunan, lalu pemerintah agak bangun, interest loan di-cap dan direstriksi, Indonesia juga enggak akan terlalu jauh berbeda dengan di sana," ujar praktisi financial technology Alison Jap dalam diskusi di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2019.
Berdasarkan observasinya, Alison mengatakan pemain yang berguguran terutama adalah para pelaku fintech pinjaman online ilegal, serta para pinjaman online yang memiliki praktis bisnis yang kurang baik. Di sisi lain, masih akan ada banyak perusahaan pinjaman online yang bertahan.
"Menurut saya akan ada pemain yang akan terus berkembang karena mereka memberikan dampak positif kepada perekonomian," ujar Alison. "Contohnya lending yang memberikan working capital untuk UMKM dan petani, nelayan, atau masyarakat lain yang unbanked atau uderbanked."
Dilansir dari Reuters, China Banking and Insurance Regulatory Commision menunjukkan saat ini tersisa 427 perusahaan pinjaman online yang beroperasi, merosot dari 6.000 pemain pada 2015. Cina belakangan memang mulai mengatur ketat industri pinjol di negaranya.
Alison melihat pemerintah sekarang mulai mengatur bisnis fintech atau pinjaman online di Tanah Air. "Kalau dilihat, regulasinya kan semakin strict, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) semakin ketat," tuturnya. Ia membandingkan kondisi tersebut dengan beberapa tahun lalu, ketika para pemain pinjaman online tidak terlalu sulit untuk beroperasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Otoritas Jasa Keuangan, melalui Satuan Tugas Waspada Investasi tampak mulai bersih-bersih fintech pelaku pinjaman online ilegal. Sejak awal tahun hingga November 2019, ada sebanyak 1.494 pemain pinjol ilegal yang ditindak. Apabila dilihat sejak 2018, jumlah totalnya adalah 1.898 entitas.
Alison meyakini pemerintah kurang dari 10-15 tahun lagi akan mengatur ketat sektor jasa keuangan digital tersebut. Hal itu, ujar perempuan yang sehari-hari beraktivitas di Doku itu, berkaca dari sektor fintech pembayaran yang mulanya tidak diatur dan saat ini sudah sangat diatur oleh Bank Indonesia.
Di samping, ia meyakini ada dorongan dari pelaku industri pesaing seperti multifinance yang mendorong adanya aturan terhadap P2P Lending. Pasalnya saat ini industri multifinance sudah diatur ketat alias heavy regulated. "Menurut saya, tidak mungkin sesuatu yang berdampak begitu besar bagi masyarakat, regulasinya akan loose."
Berbeda dengan Alison, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Febrio Kacaribu memprediksi pertumbuhan industri fintech di Tanah Air masih cukup lama. Para pelaku masih bisa memperbesar pasar, dengan syarat OJK tetap longgar dalam mengatur industri ini.
Ia memang menyarankan OJK tak buru-buru mengatur ketat para pemain bisnis fintech pinjaman online. Terutama, lantaran para pemberi pinjaman untuk P2P lending pun masih belum banyak. Menurut Febrio, saat ini pelaku industri tersebut masih lebih banyak disokong super lender. "Jadi regulasi jangan dulu, kasus P2P lending kan hanya berapa, regulasi bisa nanti saja karena belum ada risiko sistemik yang imminent," tutur Febrio.
CATATAN KOREKSI: Berita ini diedit pada Sabtu, 21 Desember 2019, pukul 16.46 WIB karena ada klarifikasi narasumber untuk mengurangi kesalahpahaman masyarakat.