Akar permasalahan kedua, menurut dia, adalah penempatan investasi yang sangat jauh dari prinsip kehati-hatian. Hal tersebut menimbulkan masalah besar karena di sisi liabilitas, produk JS Plan mencatatkan kewajiban berbiaya tinggi.
Menurut Hexana, investasi perseroan digeser ke instrumen saham dan reksadana saham dengan volatilitas tinggi untuk mengejar tuntutan imbal hasil jumbo. Jika mengacu pada ketentuan OJK terkait komposisi penempatan investasi, imbal hasil JS Plan tidak akan teRp enuhi.
Nahas, langkah nekat menempatkan risiko yang terkonsentrasi di saham dan reksadana saham tier 3 berujung boncos. Bahkan, menurut Hexana, saham yang dipilih kala itu merupakan saham yang kinerjanya tidak baik, sehingga semakin membuka gerbang menuju masalah saat ini.
"Kenapa pilihannya seperti itu? Kalau diinvestasikan dalam bentuk government bond sesuai ketentuan 30 persen (dari total portofolio), itu tidak akan pernah mengejar janji return kepada nasabah. Ketika risiko terkonsentrasi pada portofolio tier 3, ketika market crash dia turunnya lebih banyak, ketika market recover dia mungkin tidak ikut recover," ujar Hexana.
Dia menjabarkan, akar permasalahan ketiga adalah adanya penyajian balance sheet yang tidak sesuai. Hal tersebut sebetulnya telah ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui audit pada 2015.
"Ditemukan penyajian balance sheet yang overstated aset tapi understated di sisi liabilitas, sehingga angka-angka perusahaan sebenarnya semu. Yakni saham divaluasi dengan angka tinggi, sedangkan di sisi liabilitas perhitungan cadangannya kurang dari ketentuan," ujar dia.
Hal tersebut memberikan dampak signifikan saat kondisi perekonomian makro mulai bergejolak pada penghujung 2017 dan awal 2018. Investasi-investasi yang ada dalam balance sheet tersebut nilainya berjatuhan dan membuat masyarakat mulai meragukan Jiwasraya.
"Kalau melihat track record, kepercayaan masyarakat mulai menurun pada akhir 2017. Kalau saya melihat data empirisnya, memang pencairan (klaim) terus menerus (terjadi mulai 2018)," ujar Hexana.
Gelombang pencairan klaim tersebut berimbas pada kondisi keuangan Jiwasraya karena ketatnya kondisi likuiditas. Kewajiban klaim tidak dapat ditutup dengan penjualan aset, sehingga alat-alat seperti giro dan deposito mulai dicairkan dan kebutuhan klaim tetap tidak terpenuhi.
Alhasil, pada 15 Oktober 2018 manajemen Jiwasraya kala itu mengumumkan gagal bayar klaim polis JS Plan senilai Rp 802 miliar. Sisa likuiditas yang ada digunakan direksi untuk terus beroperasi, karena upaya penyehatan hanya dapat dilakukan jika perseroan terus berjalan.
"Ketika kami (jajaran direksi) baru masuk sebetulnya perusahaan sudah tidak punya uang. Itu kalau saya sampaikan, hasilnya apa? Hasilnya maka perusahaan dalam tekanan likuiditas luar biasa," ujar Hexana.
Saat ini direksi bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengupayakan perbaikan kondisi perseroan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah pembentukan anak usaha Jiwasraya Putra. Upaya tersebut akan terus berjalan, terlebih setelah direksi menyatakan tidak mampu memenuhi kewajiban klaim jatuh tempo pada akhir 2019.
Menurut Hexana, pembentukan anak usaha merupakan upaya pencarian sumber dana paling memungkinkan dilakukan perseroan, tetapi belum dapat tuntas dalam akhir tahun ini karena masih berada dalam proses due diligence dengan delapan calon investor.
"Tentu itu tidak bisa (membayarkan klaim jatuh tempo akhir 2019), sumbernya (dana) dari corporate action. Makanya saya memohon maaf kepada seluruh nasabah, dari awal saya menyampaikan saya tidak bisa memastikan tanggalnya (pembayaran klaim) kapan karena ini semuanya dalam proses," ujar Hexana.