TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Komisaris Utama PT Dok Kodja Bahari (Persero) Desi Albert Mamahit menilai penggunaan dana Penyertaan Modal Negara di perusahaan galangan kapal pelat merah itu terindikasi bermasalah. Selain fasilitas yang dibeli dari duit ini beberapa tak kunjung jadi atau sesuai dengan harapan, dana PMN juga ada yang dimanfaatkan tak sesuai peruntukannya, yaitu untuk operasional dan gaji karyawan.
"Ada juga sih (untuk operasional dan menggaji karyawan). Kalau bahasanya itu reengineering financing. Akal-akalan. Bahasa kerennya gitu. Diatur-atur agar perusahaan tidak terlihat rugi," ujar Mamahit kala berbincang dengan Tempo pada Rabu malam, 11 Desember 2019. Sejatinya, negara menyuntik modal untuk perseroan sebesar sekitar Rp 900 miliar untuk peningkatan kapasitas produksi perusahaan.
Modus yang dilakukan, kata bekas Kepala Keamanan Laut itu, misalnya adalah dengan tidak membelikan aset pada waktunya. Alias dana itu ditahan terlebih dahulu sehingga bunganya bisa untuk membayar gaji pegawai. "Misalnya kan harus bikin floating dock dua, karena tertunda sekarang setelah beli satu, untuk yang kedua tidak bisa."
Menurut dia, pemasukan perusahaan cenderung sedikit dibanding seharusnya. Imbasnya, perusahaan kesulitan membayar gaji pegawainya. Pembayaran upah itu kerap dicicil, misalnya 25-50 persen saja.
Terkadang, gaji satu bulan itu belum lunas hingga akhirnya masuk ke periode bulan berikutnya. Hal tersebut terjadi, kata Mamahit, lantaran perusahaan tidak punya uang. Ketiadaan duit itu adalah buntut dari pekerjaan yang tidka kunjung selesai.
"Jadi dalam sebulan kerap hanya segitu yang diterima karyawan," tuturnya. "Coba bayangkan dengan aset yang begitu bagus, tapi kemampuan membayar gaji terbatas."
Ia mengatakan untuk memenuhi kebutuhan operasional dan gaji karyawan setiap bulannya, perseroan perlu menggelontorkan duit sekitar Rp 8 miliar. Sementara, penerimaan tak sampai Rp 1 miliar. Persoalan pembayaran gaji tersebut, dinilai Mamahit, membuat etos kerja karyawan turun drastis.
Mamahit mengatakan PMN sebenarnya sangat bermanfaat untuk perseroan apabila dimanfaatkan secara tepat. Namun, dengan pemanfaatan yang tidak tepat, perusahaan justru merugi lantaran tidak sesuai dengan rencana. Kini pun, perusahaan dinilai tak bisa mengajukan suntikan dana lagi karena pemanfaatan sebelumnya kurang baik. Padahal, ujar Mamahit, perseroan juga kesulitan melakukan pinjaman ke perbankan karena kinerja keuangannya kurang sehat.
PT Dok Kodja Bahari menjadi salah satu dari tujuh Badan Usaha Milik Negara yang disoroti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat bersama Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat lantaran tetap mengalami kerugian pada 2018. Padahal perseroan telah menerima suntikan Penyertaan Modal Negara alias PMN.
Berdasarkan dokumen yang diterima Tempo, ada beberapa pekerjaan dari dana PMN yang dinilai bermasalah, yakni pembangunan dan perbaikan graving dock di empat galangan, antara lain di galangan Cirebon. Pekerjaan senilai Rp 13,99 miliar itu sudah dimulai pada 26 November 2018 dan sedianya kelar dalam 180 hari. Namun hingga akhir Juni 2019 kemajuannya baru 20,65 persen.
Belum lagi pekerjaan di Galangan Banjarmasin senilai Rp 18,88 miliar. Pekerjaan yang telah dimulai 15 Agustus 2018 dan semestinya rampung selama 210 hari, hingga 22 Maret 2019 progressnya baru 45 persen. Lalu kemajuan proyek di Galangan Palembang senilai Rp 5,59 miliar, progressnya baru 28,54 persen pada 23 Juli 2018. Sementara Galangan di Semarang senilai Rp 9,15 miliar baru berjalan 49,14 persen pada akhir Maret 2019. Pekerjaan telah dimulai 24 September 2018 dan ditargetkan selesai dalam 180 hari.
Berikutnya, untuk pengadaan floating dock direncanakan terdiri dari dua unit. Unit pertama alias bagian A berkapasitas 9.000 TLC dan bagian B berkapasitas 16.000 TLC. Hal tersebut sesuai pengumuman lelang umum pasca kualifikasi pada tanggal 19 Juli 2019.
Untuk pengadaan floating dock bagian A dilakukan sistem kontrak lumpsum dan rancang bangun senilai sekitar Rp 229 miliar. Saat ini proses tender sudah dilakukan dan pemenang tender sudah ditentukan. Namun untuk bagian B, proses tender masih belum juga dilaksanakan.
Berdasarkan Dokumen Kementerian Keuangan, hingga triwulan II 2019, dari Rp 900 miliar pada periode 2015-2019, Dok Kodja Bahari baru mencapai realisasi penggunaan dana 24,1 persen dan realisasi fisik rata-rata 25 persen. Dalam dokumen yang sama, tampak return on equity perseroan -27,9 persen dan debt to equity ratio -3,28 alias berada di zona merah. Di samping itu, z-score perseroan -1,72 alias berada di area rentan bangkrut.
Sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati menyoroti tujuh Badan Usaha Milik Negara yang telah menerima Penyertaan Modal Negara namun kinerja keuangannya tetap merugi pada 2018. "Kerugian terjadi pada tujuh BUMN, yaitu PT Dok Kodja Bahari, PT Sang Hyang Seri, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT Pertani, Perum Bulog, dan PTKrakatau Steel," ujar Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 2 Desember 2019. Kala itu, ia mengatakan PT Dok Kodja Bahari mengalami rugi akibat beban administrasi dan umum yang terlalu tinggi, yaitu 58 persen dari pendapatan.
CAESAR AKBAR