TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan PPATK menelusuri aliran dana terkait penyelundupan bibit lobster. Badaruddin melihat penyelundupan benih lobster itu memiliki nilai yang besar dan melibatkan banyak pihak.
"Modus yang digunakan pelaku melibatkan sindikasi internasional," kata Badaruddin di kantor PPATK, Jakarta, Jumat, 13 Desember 2019.
Dia mengatakan sumber dana berasal dari bandar yang ada di luar negeri. Dana itu, kemudian kemudian dialirkan ke berbagai pengepul di Indonesia.
Menurutnya, penggunaan valuta asing(PVA/money changer) sebagai perantara transaksi antara sindikat yang berada di luar negeri dengan pelaku di dalam negeri. Juga kata dia rekening menggunakan rekening pihak ketiga untuk transaksi.
"Penggunaan rekening pihak ketiga, antara lain toko mainan, perusahaan atau pemilik garmen, dan perusahaan ekspor ikan dalam menampung dana yang berasal dari luar negeri," kata dia.
Badaruddin mengatakan dalam setahun aliran dana dari luar negeri yang diduga digunakan untuk mendanai pengepul kembeli benur tangkapan nelayan lokal mencapai Rp 300 miliar hingga Rp 900 miliar," kata dia.
Pengungkapan aliran dana itu, kata dia, dilakukan PPATK bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Reserse Kriminal Polri.
"Itu menarik bahwa penyelundupan lobster juga menggunakan tata cara pencucian uang yang melibatkan beberapa usaha, termasuk pihak yang ekspor dan impor," ujar dia.
Menteri KKP terdahulu, Susi Pudjiastuti, sempat melarang perdagangan lobster di bawah ukuran 200 gram atau yang berupa benih. Ia juga meminta lobster bertelur tidak dijual-belikan keluar Indonesia. Beleid yang menaunginya adalah Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster.